Thursday, November 5, 2015

Hadiah=Hidayah




Hidayah hadir saat saya berteman dengan seorang wanita sederhana yang saya panggil 'mbak'.






Saya sedang merindukan sosoknya,
yang setelah kembali ke tanah kelahirannya di pulau Sumatera,
menggenap dan melahirkan seorang putra,
komunikasi kami tidak lagi se-intens dulu.
Jadi, ini dalam rangka dokumentasi masa titik balik dalam hidup saya,
sekaligus sebagai pengingat bagi diri bahwa hidayah itu mahal
dan istiqomah itu butuh perjuangan.

Ia teman sekelas saya ketika tingkat persiapan bersama (tahun pertama di IPB),
sekaligus tetangga kamar asrama.
Saya yang tidak mudah akrab dengan orang,
yang penuh waspada dan diselimuti penyakit kurang pede akut.
Juga saya yang sedikit terpengaruh dengan islamophobia dari media dan keluarga.
Penampilannya yang rapi dan bersahaja sempat membuat saya menjaga jarak.
Saya tidak ingin dipengaruhi. Dicuci otaknya. Dan disesatkan agamanya.
Maka sebisa mungkin saya ciptakan pertahanan.

Belum apa-apa, saya sudah mendeklarasikan diri tak mau berjilbab panjang dan
beragama biasa-biasa saja.
Maka ketika ada wanita-wanita setipe dengan 'mbak', saya menghindar.
Di kolom-kolom absensi acara kampus dimana berkeliaran 'teman-teman' mbak,
saya mengosongkan no telp dan bagian no kamar asrama.
Ketika saya menceritakannya kepada mbak, dia hanya tersenyum.
Tidak menyalahkan. Tidak marah.
Mungkin itu yang membuat saya nyaman bersamanya.
Dan padanya juga saya tidak tega ber gue-elo,
agak sulit awalnya tapi lama-lama aku-kamu menjadi biasa di lidah sampai sekarang. 
(dan ini bisa jadi cerita tersendiri, bagaimana saya latihan membiasakan diri ber aku-kamu dengan seorang teman)

Sering menghabiskan waktu dengannya, membuat saya tahu aktivitasnya.
Sepekan sekali ia ikut pengajian,
yang katanya hanya berisi beberapa orang dipandu dengan seorang guru.
Ia tidak mengajak saya untuk ikut. Tapi saya sudah menekankan padanya,
kalau saya tidak mau ikut pengajian seperti itu.
Lagi, ia hanya tersenyum. Dan sama sekali tidak mempengaruhi untuk ikut.
Suatu kali saya bertanya,
"Kenapa mbak selalu pakai rok? Di Al Qur'an hanya ada penjelasan menjulurkan jilbab ke dada,
tapi tidak ada perintah wajib mengenakan rok."
Saya ingat, saat itu kami sedang di kamar asrama, tepatnya di kamar 212.
Dan ia tengah bersiap untuk pergi menghadiri acara
yang mungkin khusus untuk orang-orang seperti mbak --karena dia gak ngajak saya, hehe. 

"Karena setahu saya, kita dilarang menyerupai laki-laki." jawabnya santai.
Saya diam sambil memeluk guling.
Saya sudah sering dengar kalimat itu saat mengaji di waktu kecil dulu.
Tapi kali ini, ada yang mengusik di hati.

 ***
Malam itu, kami duduk di lorong asrama.
Sudah larut, sebagian besar penghuni asrama sudah tidur. 
Akan berbeda suasananya ketika itu pekan ujian, bisa dipastikan asrama masih ramai sampai larut malam.
Kami mulai bertukar cerita tentang sekolah asal, kota kelahiran, kondisi keluarga.
Dan entah bagaimana, sampai kami tiba-tiba membahas ashabul kahfi, pemuda-pemuda dalam gua.
Di usia saya yang bukan anak kecil lagi saat itu,
saya baru mendengar kisah itu untuk pertama kalinya.
Saya suka baca; cerita putri kerajaan, fabel, kisah rasululloh dari lahir sampai wafat,
kisah 25 nabi, masih sangat lekat di kepala saya.
Tapi cerita yang baru saja diceritakan oleh mbak, membuat saya tampak bodoh.
Saya terkesima, lebih lagi ketika tahu bahwa itu kisah nyata.
Bukan rekaan seperti kisah cinderella dan snow white.
"Itu ada di Al Qur'an, des..."
Jleb!
Saya terlahir di keluarga muslim, hingga saat itu masih muslim..
Dan saya tidak tahu kalau di Al Qur'an yang dipelajari sejak kecil, ada kisah sedemikian dahsyat.
Saya malu. Mau nangis saat itu juga tapi gengsi.
Kesokan harinya saya bertekad untuk membeli sebuah Al Qur'an terjemahan
dan kelak membacanya hingga tamat (khatam).
Ahh.. bahkan saat itu tersadar; belum pernah sekalipun saya mengkhatamkan Al Qur'an.
Dengan terbata, saya biasakan lagi mengeja ayat-Nya.

***
"Des, kalo kamu dapet hadiah rok. Kamu mau pake gak?"
tanyanya di satu waktu. Ia tahu betul tak ada jenis pakaian itu di lemari.
Terakhir saya punya rok, ya rok abu-abu. :D
"Hmm... ya namanya dikasih, harus dipakelah..."
Dan di pagi itu, 17 Desember 2007 saya menemukan sebuah bungkusan berisi rok jeans di depan pintu kamar.
Hadiah ulang tahun darinya.
Dan karena alasan janji yang sudah terucap, keharuan yang menyeruak.
Untuk pertama kalinya, saya mengenakan rok di kampus.
Rekan-rekan yang lain menahan senyum dan bertanya-tanya.
Terlebih melihat bagaimana cara saya berjalan.
Bahkan ada yang mengancam, "Des kalo lo ikut2an kayak si mbak, gw gak mau ah main sama lo lagi."
 --alhamdulillah, ancamannya hanya dibibir saja ^^v

  ***
Kami sedang menunggu ruang kuliah di Fakultas Pertanian,
ketika terdengar kasak-kusuk teman sekelas mendiskusikan sesuatu.
"Lo tau kan des, kalo anak kelas A (matrikulasi) ada pelajaran agama, itu ada praktikumnya gitu.
Isinya pengajian gitu, baca Al Qur'an sama artinya, ada materi-materinya, sama curhat-curhatan.
Semester depan kan kita dapet tuh. Rencananya kita mau mulai sekarang aja, sama SR. Lo mau ikut gak?"
"Sama siapa aja?"
Rekan saya itu menyebutkan nama-nama teman seasrama.
Semua nama itu setipe dengan saya; yang akrab dengan celana jeans dan jilbab pendek.
Entah apa yang membuat saya saat itu mengangguk dengan cepat tanpa paksaan siapapun.
Dan perjalanan saya dengan mereka; para 'laskar bintang' dimulai...
dari lingkaran kecil di sebuah kamar asrama.
Hingga sampai di satu fase lingkaran kami harus melebar,
dan bertebaran di bumi Allah yang lain dengan segala dinamika pasca kampus.

Alhamdulillah...
Terima kasih, mbak.
*Mungkin si mbak pun baru pertama kali mendengar cerita ini :)

Dan di setiap pertemuan kita dengan seseorang, selalu terselip hikmah.
Allah selalu punya cara terbaik untuk mengembalikan kita ke jalur-Nya.

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al Fatihah; 6-7)

Jakarta, 5 November 2015 

No comments:

Post a Comment