Thursday, March 31, 2016

Pagi Jakarta :)

Yak, tulisan pertama di tahun 2016.



Berawal dari telpon-telponan sama temen kuliah yang masih betah di kampus~berjibaku dg thesis-nya, semangaaat utiii!

“Des, aku buka blog nya mau baca tulisan Desti. Tapi belum ada yang baru…”
Ah iyaa,,, sudah terlalu lama sendiri #eh maksudnya sudah terlalu lama blog ini dianggurin. Hehe
Gak kerasa, udah lebih dari dua tahun saya ber-domisili di Jakarta Barat.
Rutinitas ngantor senin sampai jum’at, lalu "
"pulang kampung" di saat weekend.

Meskipun belum bisa dibilang akrab sama jalanan Jakarta, tapi minimal masih bisa ditinggal sendiri lah di halte busway  ^^v

Sudah punya metode pertahanan ketika terjebak di dalam antriannya, juga sudah punya strategi bagaimana dalam posisi nyaman meskipun gak dapet duduk di dalam busway.
Ihiiiy bangga banget lu, Dest!
Sedikit tips aja nih ya, usahakan membuat jarak ketika dalam antrian, entah itu mengunakan tangan kita yang dibuat menyiku, entah itu gunakan barang bawaan, usaha terakhir kalau gak mempan, gunakan lirikan matamu yang setajam golok! Hihi
Terus kalau sudah berada dalam busway, usahakan jangan terjebak di area pintu. Melipir aja ke depan penumpang yang duduk.
Dan terakhir, selalu sediakan masker di dalam tas. Why? Buat jaga-jaga kalau kamu ngantuk ;)
*Jam terbang memang memiliki andil cukup besar. Hihi

Jadi inget zaman saya kecil terlalu akrab sama anti*o, setiap mudik pasti ibu sudah jaga-jaga cekokin saya sama obat itu. Alhasil perjalanan saya selalu dilewati dengan tidur nyenyak. Mungkin itu juga sebabnya saya agak begitu sulit menghafal  jalan ya? (halasaaan)
Mudiknya kemana sih, Dest? Jeng jeng……… Tangerang.
KrikKrik.
Iya, Tangerang, kepeleset dikit dari Jakarta Barat sini juga nyampe.
Itu sebabnya perjalanan saya ke Yogyakarta kemarin dengan kereta tanpa aksi mabok menjadi pencapaian luar biasa buat diri saya pribadi. Makanya kepingin ke sana lagi, lagi, dan lagi (sayangnya gak kebagian tiket murah bulan mei ini, huahuaa). Yakin Cuma karena alasan itu, Dest? Hmmm… gak tau sih, suasana Yogya itu selalu bikin kangen :)

Yasudah.. sekian dulu pemanasan kali ini, semoga inspirasi akan datang bertubi-tubi setelahnya. Fighting!
                                                                                   di bawah Langit Jakarta, 31 Maret 2016

Thursday, November 5, 2015

Hadiah=Hidayah




Hidayah hadir saat saya berteman dengan seorang wanita sederhana yang saya panggil 'mbak'.






Saya sedang merindukan sosoknya,
yang setelah kembali ke tanah kelahirannya di pulau Sumatera,
menggenap dan melahirkan seorang putra,
komunikasi kami tidak lagi se-intens dulu.
Jadi, ini dalam rangka dokumentasi masa titik balik dalam hidup saya,
sekaligus sebagai pengingat bagi diri bahwa hidayah itu mahal
dan istiqomah itu butuh perjuangan.

Ia teman sekelas saya ketika tingkat persiapan bersama (tahun pertama di IPB),
sekaligus tetangga kamar asrama.
Saya yang tidak mudah akrab dengan orang,
yang penuh waspada dan diselimuti penyakit kurang pede akut.
Juga saya yang sedikit terpengaruh dengan islamophobia dari media dan keluarga.
Penampilannya yang rapi dan bersahaja sempat membuat saya menjaga jarak.
Saya tidak ingin dipengaruhi. Dicuci otaknya. Dan disesatkan agamanya.
Maka sebisa mungkin saya ciptakan pertahanan.

Belum apa-apa, saya sudah mendeklarasikan diri tak mau berjilbab panjang dan
beragama biasa-biasa saja.
Maka ketika ada wanita-wanita setipe dengan 'mbak', saya menghindar.
Di kolom-kolom absensi acara kampus dimana berkeliaran 'teman-teman' mbak,
saya mengosongkan no telp dan bagian no kamar asrama.
Ketika saya menceritakannya kepada mbak, dia hanya tersenyum.
Tidak menyalahkan. Tidak marah.
Mungkin itu yang membuat saya nyaman bersamanya.
Dan padanya juga saya tidak tega ber gue-elo,
agak sulit awalnya tapi lama-lama aku-kamu menjadi biasa di lidah sampai sekarang. 
(dan ini bisa jadi cerita tersendiri, bagaimana saya latihan membiasakan diri ber aku-kamu dengan seorang teman)

Sering menghabiskan waktu dengannya, membuat saya tahu aktivitasnya.
Sepekan sekali ia ikut pengajian,
yang katanya hanya berisi beberapa orang dipandu dengan seorang guru.
Ia tidak mengajak saya untuk ikut. Tapi saya sudah menekankan padanya,
kalau saya tidak mau ikut pengajian seperti itu.
Lagi, ia hanya tersenyum. Dan sama sekali tidak mempengaruhi untuk ikut.
Suatu kali saya bertanya,
"Kenapa mbak selalu pakai rok? Di Al Qur'an hanya ada penjelasan menjulurkan jilbab ke dada,
tapi tidak ada perintah wajib mengenakan rok."
Saya ingat, saat itu kami sedang di kamar asrama, tepatnya di kamar 212.
Dan ia tengah bersiap untuk pergi menghadiri acara
yang mungkin khusus untuk orang-orang seperti mbak --karena dia gak ngajak saya, hehe. 

"Karena setahu saya, kita dilarang menyerupai laki-laki." jawabnya santai.
Saya diam sambil memeluk guling.
Saya sudah sering dengar kalimat itu saat mengaji di waktu kecil dulu.
Tapi kali ini, ada yang mengusik di hati.

 ***
Malam itu, kami duduk di lorong asrama.
Sudah larut, sebagian besar penghuni asrama sudah tidur. 
Akan berbeda suasananya ketika itu pekan ujian, bisa dipastikan asrama masih ramai sampai larut malam.
Kami mulai bertukar cerita tentang sekolah asal, kota kelahiran, kondisi keluarga.
Dan entah bagaimana, sampai kami tiba-tiba membahas ashabul kahfi, pemuda-pemuda dalam gua.
Di usia saya yang bukan anak kecil lagi saat itu,
saya baru mendengar kisah itu untuk pertama kalinya.
Saya suka baca; cerita putri kerajaan, fabel, kisah rasululloh dari lahir sampai wafat,
kisah 25 nabi, masih sangat lekat di kepala saya.
Tapi cerita yang baru saja diceritakan oleh mbak, membuat saya tampak bodoh.
Saya terkesima, lebih lagi ketika tahu bahwa itu kisah nyata.
Bukan rekaan seperti kisah cinderella dan snow white.
"Itu ada di Al Qur'an, des..."
Jleb!
Saya terlahir di keluarga muslim, hingga saat itu masih muslim..
Dan saya tidak tahu kalau di Al Qur'an yang dipelajari sejak kecil, ada kisah sedemikian dahsyat.
Saya malu. Mau nangis saat itu juga tapi gengsi.
Kesokan harinya saya bertekad untuk membeli sebuah Al Qur'an terjemahan
dan kelak membacanya hingga tamat (khatam).
Ahh.. bahkan saat itu tersadar; belum pernah sekalipun saya mengkhatamkan Al Qur'an.
Dengan terbata, saya biasakan lagi mengeja ayat-Nya.

***
"Des, kalo kamu dapet hadiah rok. Kamu mau pake gak?"
tanyanya di satu waktu. Ia tahu betul tak ada jenis pakaian itu di lemari.
Terakhir saya punya rok, ya rok abu-abu. :D
"Hmm... ya namanya dikasih, harus dipakelah..."
Dan di pagi itu, 17 Desember 2007 saya menemukan sebuah bungkusan berisi rok jeans di depan pintu kamar.
Hadiah ulang tahun darinya.
Dan karena alasan janji yang sudah terucap, keharuan yang menyeruak.
Untuk pertama kalinya, saya mengenakan rok di kampus.
Rekan-rekan yang lain menahan senyum dan bertanya-tanya.
Terlebih melihat bagaimana cara saya berjalan.
Bahkan ada yang mengancam, "Des kalo lo ikut2an kayak si mbak, gw gak mau ah main sama lo lagi."
 --alhamdulillah, ancamannya hanya dibibir saja ^^v

  ***
Kami sedang menunggu ruang kuliah di Fakultas Pertanian,
ketika terdengar kasak-kusuk teman sekelas mendiskusikan sesuatu.
"Lo tau kan des, kalo anak kelas A (matrikulasi) ada pelajaran agama, itu ada praktikumnya gitu.
Isinya pengajian gitu, baca Al Qur'an sama artinya, ada materi-materinya, sama curhat-curhatan.
Semester depan kan kita dapet tuh. Rencananya kita mau mulai sekarang aja, sama SR. Lo mau ikut gak?"
"Sama siapa aja?"
Rekan saya itu menyebutkan nama-nama teman seasrama.
Semua nama itu setipe dengan saya; yang akrab dengan celana jeans dan jilbab pendek.
Entah apa yang membuat saya saat itu mengangguk dengan cepat tanpa paksaan siapapun.
Dan perjalanan saya dengan mereka; para 'laskar bintang' dimulai...
dari lingkaran kecil di sebuah kamar asrama.
Hingga sampai di satu fase lingkaran kami harus melebar,
dan bertebaran di bumi Allah yang lain dengan segala dinamika pasca kampus.

Alhamdulillah...
Terima kasih, mbak.
*Mungkin si mbak pun baru pertama kali mendengar cerita ini :)

Dan di setiap pertemuan kita dengan seseorang, selalu terselip hikmah.
Allah selalu punya cara terbaik untuk mengembalikan kita ke jalur-Nya.

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al Fatihah; 6-7)

Jakarta, 5 November 2015 

Sunday, October 25, 2015

Berawal dari senyum

Sore itu, seperti biasa saya bergegas pulang tepat waktu untuk bersegera menuju terminal grogol.
Pulang selalu membuat saya bersemangat.
Kopaja 88 mengantarkan saya sampai 'kolong' grogol, sisanya saya lanjutkan berjalan kaki. 
Biasanya aptb 05 sudah berbaris menunggu penumpang. 
Kali ini agak berbeda, terminal lenggang.
Sementara penumpang semakin menumpuk. 
Pukul 17.50, saya memasuki mushola terminal yang masih kosong, untuk menghindari antrian wudhu. 
Seusai berwudhu, seorang perempuan bermukena sudah duduk rapi di sebelah sajadah yang sebelumnya sudah saya gelar dan tandai dengan mushaf kecil berwarna coklat tua di atasnya. 
Kami bertukar senyum. Adzan berkumandang, saya meneguk teh manis yang sengaja saya bawa dari kantor untuk berbuka. Hari itu tanggal 10 Muharram, puasa sunnah asyura. 
Selesai sholat, saya sedikit berbasa-basi menanyakan arah pulangnya. -kebiasaan berbasa-basi ini saya dapat sejak bekerja di tempat saya sekarang, istilah kerennya customer intimacy :) untuk menggali kebutuhan nasabah, sehingga saya bisa tepat menawarkan produk yang cocok. Tapi kali ini saya berbasa-basi bukan untuk itu, entahlah semacam dorongan hati kalau semua orang suka disenyumi, disapa dengan ramah, maka saya selalu menerapkannya ketika situasi memungkinkan. 
Rupanya ia menuju pancoran dan berniat menggunakan jasa aptb 05 juga.
Kami terpisah ketika menunggu bis, lalu kembali bertemu dalam desakan antrian di depan pintu bis yang baru tiba. 
Ia bersama gadis bergamis hitam yang dipadukan jilbab panjang biru dongker, seseorang yang ia temui ketika memilih duduk di pelataran warung tadi. 
Kami saling bertukar senyum. 
"Pulang kemana, kak?" 
"Cibinong. Mbaknya?"
"Jagorawi."
"Oh, sama. Maksudnya di situ juga, tujuannya kemana?"
"Cileungsi, kak."
"Aku juga naik angkot itu, nanti bareng yaa."
Sempat-sempatnya kami bertukar informasi ditengah padatnya antrian.
Kami memilih duduk bersisian, berderet tiga, setelah sebelumnya minta bertukar dengan bapak-bapak. Mungkin sama-sama lelah, kami hanya sedikit bertukar obrolan. Saya sedikit ngemil qitela tempe mengganjal perut bada shaum. Lalu mereka tertidur, sementara saya memilih mendengarkan musik sambil memejamkan mata sepanjang perjalanan. 
Gadis itu pamit, karena satu shelter lagi menuju pancoran-saya menyesal tidak menanyakan namanya. 
Perjalanan masih panjang.
Pukul delapan lewat, kami tiba di pintu tol Citeureup lalu naik angkot yang sama. Di sana saya baru menanyakan namanya, bertukar obrolan tentang pekerjaan, asal sekolah, tempat tinggal hingga jadwal pulang. Kami rupanya teman ngobrol yang cocok.
Sadar kalau destinasi saya sebentar lagi, maka saya menanyakan pin bbmnya. Dan dari sana silaturahim kami berlanjut.
Alhamdulillah, hanya diawali dengan senyum dan saya mendapatkan teman baru. :)
Ah.. itulah kenapa senyum dikatakan sedekah termurah.
Ia bisa mengubah suasana hati seseorang. Mengubah atmosfer ketegangan. Mengubah kekakuan menjadi keakraban.

Senyumlah... bukan untuk orang lain, tapi untuk hatimu agar berbahagia. :)

Bogor, 25 Oktober 2015