Tuesday, October 12, 2010

Sebuah Kesiapan akan Sebuah Jawaban

“Mau gak sama anak angkat saya, baru lulus tahun kemarin. Sekarang sudah mapan, kerja di BUMN. Insya Allah anaknya hanif… ngaji kok…”

Entahlah ya Rabb, kenapa pertanyaan itu masih saja terpikir di benak ini. Ketika pertanyaan itu terlontar, sebenarnya antara yakin dan tidak yakin. Entah kenapa aku bingung menjawabnya, padahal aku bisa saja menjawab belum terpikir seperti biasanya, atau menjawab dengan tawa dan mengacuhkannya karena candaan. Namun saat itu berbeda, doa itu memang sering terlontar… meminta agar pertemuan itu disegerakan, meminta diberi yang terbaik dan dimudahkan, sempat terpikir dalam proses mempersiapkan diri. Ketika bibir ini seakan terpaku, pikiran ini sebenarnya tengah berlomba untuk menebak, apakah ini telah tiba saatnya? Ataukah kelak saatnya akan seperti ini? Dan ketika benar-benar tiba saat pertanyaan terlontar dan jawabannya tidak hanya dengan menggeleng diam karena bingung, akankah diri ini siap?
Ahh.. Ya Rabb, betapa mudahnya aku meminta, namun tidak berpikir.. apa saja yang sudah diri ini siapkan untuk menyambut panggilan itu kelak. Panggilan untuk menggenapkan separuh Dien ini…
“Raisa??”
“Eh iya,”
“Hmm..melamun? Mikirin pertanyaan Pak Ahmad tadi ya?”
Raisa menggeleng cepat, tapi lantas mengangguk juga, “He.. wajarlah, masih syok…bercandanya bikin kaget aja yah tuh Bapak.”
“Kata siapa Pak Ahmad bercanda?”
“Kan, tadi beliau bilang sendiri gak usah dipikirin. Cuma bercanda..”
“Iya karena ngeliat wajah kamu yang syok dan kaku, makanya Bapaknya panik dan bilang cuma bercanda…hehehe. Agaknya ada yang kecewa nih dibilang bercanda doang, haha”
“Hush.. udah ah Mel. Aku masih kecil, belum kepikiran sama yang begituan.”
“Apa? Masih kecil dari mana? Hello Raisa…! Kita udah tingkat empat, umur uda 20 lebih, nyadar gak sih bentar lagi lulus dan hey.. apa kamu gak kepikiran buat nikah? Sulit dipercaya.”
Raisa menarik nafas berat. Melia benar, tapi mana mungkin sih aku gak kepikiran? Justru karena kepikiran terus, ingat ibu bilang beberapa hari lalu, “Kalau memang sudah ada, ibu ridho kamu nikah sekarang. Jadi nggak usah khawatir ibu tidak mengizinkan.” Siapa coba yang gak kebakaran jenggot? Itu tandanya ibu sudah mengharapkan dirinya untuk menyegerakan menikah. Tapi, kadang diri ini masih seperti anak kecil, masih suka manja dan malas. Siapa coba yang mau punya istri begini? Rasanya serius belum siap. Tapi seseorang pernah mengatakan, “Kita memang tidak akan pernah bisa siap jika ditanya seperti itu.” Benarkah? Tapi aku jadi berpikir ‘Menikah itu bukan masalah siap atau tidak siap, tapi ini masalah ada atau tidak ada. Jika seseorang itu telah hadir, maka kesiapan pun mau tidak mau harus ada. Karena kita tidak pernah tahu kapan hal ini menuntut kesiapan kita, maka kesiapan itu harus dipersiapkan sejak dini.’
###
Aku mematut-matutkan diri di cermin, ah.. siapa kelak yang akan memiliki diri ini? Siapa kelak yang akan menjadikan diri ini penyejuk hatinya? Ya Rabbi, siapapun dia kelak, aku mau dia mencintaiku karenaMu. Maka aku pun harus belajar untuk menjadi wanita yang sholehah, wanita si penyejuk hati.

Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuat cantik di mata kita.-Anis Matta-

Entah dua kalimat itu adalah hiburan untuk para lelaki yang tidak mendapatkan wanita dengan fisik sempurna. Atau hiburan untuk para wanita yang tidak memiliki penampilan secantik bintang iklan di televisi-televisi yang mempuat presepsi cantik menjadi sama rata di semua kepala. Bahwa cantik itu : tinggi, langsing dan putih.
Tapi entah kenapa kata-kata itu begitu manis terdengar di telingaku. Ya. Bahwa cinta terkadang membuat semua terjadi tanpa alasan, tidak peduli ia cantik, tidak peduli ia kaya, tidak peduli ia baik hati, kala cinta menyerang… semua menjadi tidak berarti. Namun, ada yang lebih manis lagi. Ketika semua iming-iming fisik dan harta tidak lagi dipedulikan karena satu alasan, bahwa pujaan hati kita adalah hambaNya yang taat, yang siap mencintai kita karena kecintaannya pada Rabbnya. Maka ketika keimanan dan ketakwaan itu terpatri dalam jiwa, kita tidak lagi perlu khawatir ia akan mencampakkan kita.
Aku yang perasa… aku yang detail memperhatikan hal-hal remeh-temeh… aku yang tidak sabar… penuh prasangka… suka didengar. Akan berjodoh dengan ia yang penuh logika… ia yang simple… ia yang sabar… ia yang positive thinking… dan memiliki ruang tersendiri. Semua wanita rata-rata begitu, dan semua lelaki pun begitu. Maka kedua sifat yang bertentangan itu sepatutnya menjadikan keduanya saling melengkapi, mengisi kekosongan masing-masing. Sebuah rasa. Kelak akan ada sebuah rasa yang menjadi pelekatnya. Amin.
“Raisa, semalam ada yang datang ke rumahku.”
“Lalu? Tamu jauh?”
“Teman ayahku, bersama seorang anak laki-lakinya. Mereka datang untuk melamarku…”
Aku terbelalak. Syok. Kaget. Hingga tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku, bahkan hanya untuk memastikan apa yang dikatakan sahabatku itu bukan gurauan.
“Kenapa tiba-tiba begini ya Rai? Aku gak pernah kepikiran…”
Aku tersenyum, “Aku juga gak pernah kepikiran, bukankah kita sudah pernah mendiskusikan ini? Pertanyaan ini memang akan datang tiba-tiba di tengah ketidaksiapan kita. Kita memang tidak akan pernah siap Mel, dan Dia memang hendak memberikan kejutan untuk kita mengenai kehadiran seseorang itu… bukankah itu manis?”
“Semanis pertanyaan Pak Ahmad tempo hari itu kah Rai??”
“Jangan bahas itu lagi, itu hanya sebuah teguran untukku bahwa saatnya sudah dekat dan aku harus mempersiapkannya. Oia, lalu jawabanmu bagaimana?”
“Mereka tidak meminta aku menjawabnya malam itu juga, tampaknya anak teman ayahku itu seorang yang faham…”
“Yakin sekali?”
“Ini… aku diminta membacanya sebelum memutuskan.” Melia mengeluarkan tumpukan kertas yang dijilid rapi sekali. Hey, itu bukankah proposal?!
“Aku mau bacaaaaaa…”
“Eit,, ini amniyah Rai. Kelak kau akan membacanya juga, tapi bukan yang ini.” Melia memasukkan proposal itu ke tasnya. Ia telah membuatku penasaran sangat. Padahal aku ingin tahu apa sih yang orang tulis dalam proposal nikah seperti itu??
###
Hmfft… baru dua hari yang lalu Melia menggodaku masalah pernikahan itu Tapi lihat kini, ia tengah menjalani proses ta’arufnya dengan calon yang dibawa teman ayahnya itu. Jodoh memang tak pernah disangka kehadiranya. Ia bisa saja orang yang sangat jauh, tapi bisa juga orang yang selama ini berada di depan matamu yang seringkali membuatmu bosan. Tapi itulah permainan takdir yang manis, teka-teki yang indah, kita dihadapkan pada puzzle kosong yang mendebarkan, siapakah yang kelak akan mengisi puzzle kosong itu? Tidak ada yang pernah tahu.
Aku membolak-balikkan sebuah undangan berwarna hijau, cantik sekali. Minggu ini akan ada yang melangsungkan walimahnya… datangnya sebuah undangan ini pastilah merupakan hasil dari sebuah proses panjang : sebuah kesiapan menjawab ketika pertanyaan itu dilontarkan, sebuah perenungan panjang di malam-malam meminta petunjukNya, pengenalan, penerimaan, ahh… datangnya undangan ini untuk sampai ke tanganku tidaklah mudah.
Ok. Masalah pernikahan bukanlah hanya masalah pertanyaan dan jawaban. Resiko, ya sebuah konsekuensi berat ada di dalamnya. Karena ia merupakan awal dari sebuah fase kehidupan. Kita tidak akan sepenuhnya mengenal pasangan hidup kita hanya dari berlembar-lembar proposal yang ditulisnya, begitupun ia tidak akan pernah mengenal kita seutuhnya. Maka pernikahan itulah yang akan mengenalkan, mengajarkan sebuah pengertian, penerimaan akan hal-hal yang tidak kita bayangkan untuk mendapatkan sebuah kunci : ikhlas.

No comments:

Post a Comment