
Kau tahu? Aku benar-benar menangis deras setelah kau meninggalkanku sendiri.
Bahkan aku harus terduduk lemah di pojok ruangan seperti pesakitan, memeluk lututku yang ikut bergetar hebat. Kalau kau ada disini, kau pasti menertawaiku, mengatakan aku seperti anak kecil yang menangis karena tak diajak ke pasar oleh ibu. Atau kau akan geleng-geleng kepala dan berkata aku tak pernah dewasa?
Ternyata aku salah, kau kembali dengan secangkir teh hangat di tanganmu. Lalu menyodorkannya padaku yang tengah sibuk mengeringkan air mata yang menderas di pipi tadi. Kau sama sekali tidak menertawaiku seperti bayanganku tadi, kau ikut berjongkok lalu menghadirkan senyuman yang sama dengan senyummu sebelum meninggalkanku tadi.
"Kadang semua amarah, kesal, kecewa, sakit hati;akan hilang hanya dengan menangis." ujarmu membuat wajahku mendongak agar ucapanmu terdengar lebih jelas.
"Apa kau pernah menangis?" aku ragu-ragu bertanya setelah meneguk teh pemberianmu.
Kau berdiri, persis menatap jendela seperti yang kulakukan tadi, "Tentu saja, tapi tidak di depanmu, Nay!" ujarmu membuat wajahku berlipat. Katakan saja bahwa apa yang kulakukan tadi sangat memalukan, menangis di depanmu! Aku bahkan tidak pernah merencanakannya sedetikpun.
"Nay, jangan berpura-pura kuat ketika kau melemah. Itu hanya akan membuatmu hancur perlahan." kau menatapku serius, sampai aku pun tidak berani membalasnya. Lalu kita membiarkan hening berlalu lalang di sekitar kita.*bersambung
No comments:
Post a Comment