
“Kau kenapa?”
Aku menggeleng keras, membuatmu semakin penasaran tampaknya. Mungkin kau merasakan gelagat anehku belakangan ini, atau mungkin juga kau sempat memergoki pelupukku yang basah tadi. Aku membalikkan tubuhku menghadap ke jendela besar ruang kerja kita.
“Kau lelah?” tanyamu lagi yang kujawab dengan diam. Bukan, sebenarnya bukan itu yang membuatku belakangan ini berubah sikap. Bukan pula karena marah atau kecewa, sungguh bukan karena itu.
“Aku hanya sedang ingin sendirian.” Akhirnya hanya itu yang kukatakan padamu, dan kau tanpa bertanya panjang lebar segera bersiap mundur teratur untuk meninggalkanku sendiri. “Aku, aku, bukankah aku sangat ceroboh? Bukankah aku sangat cengeng? Bukankah aku sangat mudah menyerah?” aku mencoba membuatmu tetap di tempat dengan meracau seolah tak seorang pun mendengar.
Aku tahu, kau berhenti melangkah. Kau mendengar racauanku dengan baik, sebaik aku mendengar desau angin yang menemani kita. “Aku tidak pernah berhasil melakukan apapun? Lalu apa yang sebenarnya bisa kukerjakan?”
“Kau hanya bisa mengeluh!” aku menoleh ke arahmu. Kata-katamu berhasil membuatku merasakan sakit di ulu hati. Aku tertunduk, menangis. Kau benar, kali ini kau benar. Bahuku bergoncang keras menahan air bah yang meledak di pelupuk. Aneh, kau malah tersenyum di tempatmu berdiri.
“Menangislah, itu akan membuatmu lebih baik..” katamu lalu menghilang dari balik pintu. *bersambung.
No comments:
Post a Comment