Friday, January 21, 2011

“Seperti Bintang”



Matahari terik membakar kota Jakarta, aspal-aspal seakan mendidih. Panas, keringat Arinda berjatuhan. Jalanan padat merayap, bus kota padat penumpang yang hendak beraktivitas dengan kegiatannya masing-masing. Ah, sebenarnya enggan sekali ia berangkat siang ini. Bukan karena ia tidak tahan dengan terik matahari atau kepadatan jalanan. Namun karena tugasnya kali ini : Wawancara dengan narasumber seorang polisi.
Profesinya sebagai seorang reporter sedang di uji keprofesionalannya, huh.. padahal ia sangat benci polisi dengan segala embel-embel cerita yang diketahuinya. Kini ia harus membuat sebuah artikel pembersihan citra polisi dengan narasumber seorang polisi, bagaimana mungkin?! Sebuah Kantor Polsek di pinggiran kota Jakarta menjadi tujuannya, kedatangannya disambut dengan aroma ketidakramahan. Setidaknya itu yang dilihatnya ketika melihat kesibukan para aparat di dalamnya, atau karena mindset-nya yang sudah ter-frame demikian? Maka semanis apapun senyum aparat menyambutnya, ia akan tetap curiga bahwa itu adalah pura-pura.
###
Narasumbernya itu terpaku pada posisinya, matanya menerawang dinding polos berwarna jingga di sekelilingnya. Arinda mengurai pertanyaanya dengan lugas. Selugas ia dengan prinsipnya, jilbab syar’i yang dipilihnya telah memperkenalkan lebih dari sekedar nama dan profesi yang diembannya. Sosok Arinda, membuat kilatan masa lalu Andika bermunculan : aktivitas di kampusnya empat tahun silam, sebagai seseorang yang pernah diamanahkan menjadi mas’ul di tataran dakwah kampus, ia tahu betul sekaliber apa akhwat di hadapannya. Bukan. Bukan karena jilbabnya yang lebar atau sorot matanya yang tersembunyi, bukan juga karena kata-kata atau sikapnya. Tapi auranya, aura yang pernah menjadi miliknya juga.. sebelum ia terkungkung dalam ruangan berstempel POLSEK.

“Menurut Anda, kenapa opini publik di masyarakat saat ini cenderung tidak simpati kepada aparat?” Arin memulai pertanyaanya dengan yakin.
“Mengenai opini... setiap orang berhak memiliki opini yang berbeda tentang kami. Tetapi hal itu menjadi tidak benar ketika opini itu dibentuk oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.”
“Oknum siapa maksud Anda?”
“Saya rasa, media lebih tahu dari kami sendiri...”
“Kenapa Anda harus menyalahkan oknum tertentu, kalau letak masalah sebenarnya ada pada tubuh aparat sendiri? Bukankah opini terbentuk karena ada kesalahan yang terbukti dari aparat sendiri?”
“Ya... kami mengakui kalau ada beberapa oknum aparat yang menyalahi aturan, menyalahi kekuasaan, dan lain sebagainya. Tapi saya ingin Anda juga tahu kalau jumlah aparat yang benar-benar menjalankan tugas lebih dari jumlah aparat yang memiliki sifat minus itu.”
“Jika memang lebih banyak, tapi kenapa justru yang terekspos oleh media adalah aparat yang tidak bertanggung jawab itu?”
Andika tersenyum misterius ketika Arin melontarkan pertanyaan yang memojokkan itu. “Sensasi.”
“Maksud Anda?”
“Bukankah media lebih suka meliput hal yang penuh dengan sensasi? Jika seorang aparat ditemukan mabuk dalam sebuah diskotik, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemburu berita seperti Anda bukan?” Arin hendak memotongnya ketika Andika melanjutkan lagi perkataannya, “ Dan apabila ada aparat berhasil menggagalkan sebuah rencana kejahatan, akan menjadi sebuah berita yang sangat biasa karena hal itu memang dianggap sebagai tugas kami. Lalu Anda akan menjadi seorang yang tidak tahu menahu ketika ditanya tentang seorang aparat yang meninggal sebagai resiko keberaniannya dalam mengungkap kejahatan. Hal ini sungguh ironis.”
Beberapa detik Arin terdiam.
“Tapi saya ada ketika polisi dengan asal meniup pruitnya untuk menilang sesuatu yang tidak salah. Saya juga tahu ketika istilah ‘uang damai’ sudah menjadi image yang tidak dapat dipisahkan dari aparat. Saya juga melihat bagaimana dengan seragam polisi mereka dengan leluasa menggoda para pelajar.”
“Anda hanya ada saat itu dan tidak pernah mencari tahu dibalik semua itu.”
“Saya melihat apa yang terlihat. Lalu bagaimana caranya jika saya ingin mencari tahu? Pergi ke kantor polisi? Tempat yang kini menjadi sangat menyeramkan ketika hanya dengan uang pelicin semua masalah akan menjadi selesai.”
Andika cukup terkejut. Bukan hal baru ketika seorang reporter dengan tajam bertanya mengenai suatu hal, bahkan banyak yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan jebakan di dalamnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda lewat pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis berjilbab ini, ini memang bukan hanya pertanyaan seorang reporter yang hanya berniat mencari berita untuk memenuhi perut mereka dengan bayaran yang mereka terima. Bukan juga seorang reporter yang ingin beritanya menjadi tampak wah ketika menghadirkan tulisan-tulisan yang sama sekali tidak peduli fakta. Ini pertanyaan seorang warga sipil yang sudah tampak lelah dengan kinerja aparat yang selama ini selalu dinilai kurang.
“Lapor komandan, ada telpon untuk Anda.”
Andika segera beranjak dari duduknya, “Saya permisi dulu...”
Arinda mengangguk, tanda tanya besar timbul dibenaknya. Siapa sebenarnya polisi ini? Seorang ikhwankah? Dari cara bicaranya, ia tidak berbeda jauh dengan Kak Sukri, sang aktivis tersohor di kampusnya atau Kak Dhani, ketua DKM itu. Tapi benarkah masih ada seorang ikhwan yang bertahan di tengah lingkungan yang kebobrokannya sudah menjadi rahasia umum. Arinda terus menyangkalnya, meski ia sudah menyadari sejak tadi kalau polisi muda bernama lengkap Andika Riza Pratama itu selalu menjaga pandangannya.
Tidak lama setelah itu, Andika datang dengan senyum andalannya. Arin lagi-lagi merasa bersalah ketika melihat senyum itu begitu teduh.
“Maaf... telah menyita waktu Anda..” Andika kembali duduk di tempatnya.
“Tidak apa, bisa saya lanjutkan Bapak Andika?” Tanya Arin dingin.
“Ya. Silahkan...”
“Baiklah, pertanyaan ini mungkin sedikit melenceng dari topik. Tapi saya harap Anda tetap professional untuk menjawabnya. Kenapa Anda memilih profesi menjadi polisi?”
Suasana tiba-tiba hening ketika Arinda menyelesaikan pertanyaannya. Aneh. Polisi itu tetap berwajah tenang, tidak ada raut bingung atau marah disana. Arin diam-diam menyesali hal itu, narasumbernya memang bukan orang sembarangan yang akan dengan cepat kebakaran jenggot jika pertanyaan tidak sesuai dengan kepentingannya. Arin sudah cukup sabar menunggu pria dihadapannya untuk mengeluarkan suara, sampai tiba-tiba...
“Maaf jika saya lancang telah mendengar pembicaraan ini...” suara seorang wanita dengan seragam polisinya membuat semua yang ada di sana kontan menoleh. “Perkenalkan, saya Marina Larasati, cukup panggil saya Laras.”
“Selamat siang Ibu Laras, silahkan duduk...” Andika dengan cepat mempersilahkan wanita berambut sebahu itu untuk ikut bergabung.
“Siang, Pak Andika. Terima kasih.” Jawabnya singkat dengan senyum yang sulit diartikan. “Saya dengar Anda reporter baru?”
Arin berusaha tersenyum, meski sebenarnya agak ngeri menatap mata tajam wanita bernama lengkap Marina Larasati itu. “Ya, betul. Saya Arinda Fariza, reporter baru dari majalah Amanah.” Ia mengulurkan tangannya, namun urung setelah beberapa detik tak ada sambutan.
Andika melihatnya, bagaimana Laras rekan kerjanya lagi-lagi menampilkan sisi arogansinya. Ia mengenal betul rekan kerjanya itu, wanita keras yang sulit beramah-tamah dengan orang yang baru dikenalnya. Sekaligus menjadi wanita yang begitu lembut ketika berhadapan dengannya.
“Saya tidak punya kepentingan dengan majalah Anda, namun saya menjadi berkepentingan ketika Anda mengusik profesi kami. Jika saya boleh bertanya, kenapa Anda memilih profesi sebagai reporter?”
Arin tertunduk, “Ini impian saya.”
“Impian??” Laras tersenyum kecut. “Jawaban yang bagus Nona... kalau begitu, saya akan meniru alasan Anda. Mungkin impian saya adalah menjadi Sailormoon yang akan menegakkan kebenaran di muka bumi ini...makanya saya memilih profesi sebagai seorang polisi wanita. Anda bisa menerima jawaban saya Nona Arinda??”
Arinda terdiam,
“Ehm.. maaf sepertinya waktu 30 menit kita telah habis. Saya pikir, wawancara ini ditutup saja.” Andika menengahi.
Arin menatap aneh. Laras melirik kesal, terlihat rasa tidak sukanya dipotong seperti itu.
###

“Baiklah, pertanyaan ini mungkin sedikit melenceng dari topik. Tapi saya harap Anda tetap professional untuk menjawabnya. Kenapa Anda memilih profesi menjadi polisi?”

Awalnya Andika tidak menyangka pertanyaan itu yang akan dilontarkan, ah.. bagaimana mungkin ia tidak bisa menjawabnya? Bukankah pertanyaan ‘kenapa’ itu begitu banyak berdatangan sewaktu ia memutuskan untuk mendaftarkan diri ke AKPOL empat tahun silam? Banyak yang menyayangkan, tidak habis pikir, dan menganggapnya sudah gila. Sarjana jebolan FISIP Universitas ternama di ibukota, jurusan Hubungan Internasional yang notabene memiliki prestige tersendiri dan diramalkan berprospek cerah tiba-tiba banting stir ke Akademi Polisi. Sebuah profesi yang teropini ‘buruk’ di masyarakat. “Mau jadi apa antum? Tukang korupsi? Centeng pejabat? Bekingan pengusaha? Ya Allah, antum sama saja menceburkan diri ke lubang hitam.” Andika hanya beristigfar kala itu, kupingnya memang panas mendengar celotehan-celotehan miring tentang pilihannya. Tapi sebuah senyum menguatkannya : senyum ibunya yang selalu mendukung dan menaruh kepercayaan penuh padanya.
Maka ketika Arinda Fariza, reporter itu dengan wajah polosnya menanti jawaban keluar dari bibir Andika saat berpamitan di pintu POLSEK . Ia bisa dengan tenang mengatakan,
“… karena saya juga manusia, yang diberi pilihan olehNya untuk memilih jalan kebaikan atau keburukan. Lalu apa saya salah memilih jalan kebaikan lewat profesi ini? Mungkin banyak yang memilih pilihan kedua, tapi andai Anda tahu… tidak sedikit orang yang istiqomah pada jalan pertama.”
Ia ingat betul kata-kata yang sampai saat ini masih terukir di hatinya, kata-kata dari seseorang special yang melahirkannya, juga melahirkan azzam kuat di hatinya bahwa perubahan harus dimulai dari hal kecil, yang selalu mengingatkan kalau Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum tersebut merubah nasibnya sendiri. “Jika semua orang baik menjauh dari kondisi buruk yang harus diperbaiki, maka kebobrokan demi kebobrokan tidak akan pernah selesai, anakku. Jadilah cahaya di tengah kegelapan, yang akan membuat sekelilingnya terang dimanapun ia berada. Ibu hanya berdoa satu untukmu, agar Allah menjaga imanmu. Kutitipkan engkau padaNya, maka ibu tak perlu khawatir.” Inilah kata-kata yang menyertai senyum ibu yang menguatkan itu. Maka tak peduli sepedas apa bisikan miring tentang keputusannya kala itu, azzamnya kuat untuk mulai melakukan perubahan dengan terjun ke dalamnya, segelap apapun tempat itu.
###
Langit semakin gelap, dan Arin masih saja sulit memejamkan matanya. Ia masih saja merasa bersalah dengan kejadian kemarin siang. Bagaimana ia dengan semena-mena men-judge Pak Andika dengan profesi yang dipilihnya. Tanpa mencari tahu dan mendengarkan penjelasan beliau dahulu. Ia mengambil kesimpulan atas penglihatannya sendiri hanya dari satu sisi. Padahal ia pun sebenarnya pernah mengalami posisi itu, dimana semua mayoritas keluarganya tidak setuju dengan pilihannya untuk menjadi seorang reporter. Mereka hanya memandang reporter dari pengetahuan mereka yang terbatas : bahwa banyak wartawan yang membolak balikkan fakta, banyak wartawan yang hanya mengumbar gossip. Tanpa mereka tahu justru karena itu, justru karena media kini banyak yang tidak sesuai koridornya, maka Arin ingin menjadi salah satu yang tetap bertahan di koridornya. Jika semuanya bersikap sama? Lantas siapa yang akan merubah keadaan? Dengan membawa misi itulah akhirnya ia berhasil mewujudkan mimpinya, meski masih saja ada sebagian yang mencibir.
Tiba-tiba ingatan masa lalunya muncul, ketika pertama kalinya ia diterima di sebuah redaktur majalah ternama. Bahkan ia tidak pernah bermimpi akan menjadi salah satu reporter disana karena hal itu sangat mustahil baginya yang lulus dengan gelar yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia jurnalistik. Tapi kenyataan berkata lain… ia berhasil bekerja disana beberapa bulan sampai kejadian pada hari itu…

“Tulisan apa ini??!” suara teriakan Pak Galih pagi tadi di kantornya masih terngiang jelas di telinganya, terus terdengar seperti putaran kaset rusak. Rekaman visual bagaimana atasannya itu melempar lembaran hasil ketikannya tanpa etika masih tergambar jelas. Semua kertas itu beterbangan seperti helain kapas yang tertiup angin. Arin seperti melihat tetesan keringatnya memercik, menguap di telan udara. Mulutnya terkatup rapat tak bisa bersuara.
“Saya beri waktu kamu tiga hari untuk menyusun sebuah tulisan agar orang yang bersalah itu makin terpojok. Bukan malah membuat orang itu diagung-agungkan!”
“Tapi saya hanya menulis apa yang ada dipikiran saya, Pak.”
“Kalau begitu memang pikiran kamu yang salah!! Sudah berulang kali saya tegaskan kalau majalah kita ini majalah umum, tidak memihak kalangan manapun termasuk agama manapun.”
“Saya tidak memihak apapun Pak. Tapi saya hanya menuliskan apa yang sebenarnya tengah terjadi, masalah publik menilai bagaimana itu terserah mereka. Tetapi yang pasti saya tidak memaksakan untuk membentuk opini itu. Kita harus adil Pak.”
“Adil apanya?! Kamu terkesan membela agama kamu!”
Mata Arin menyorot tajam, tak disangka atasannya itu akan mengatakan hal itu. Bukankah ia dengan atasanya itu satu agama, Islam. Satu-satunya agama yang di ridhoi oleh-Nya. Ia langsung menyadari satu hal... yang selama ini dicarinya. Alasan mengapa begitu banyak tulisannya yang tak termuat. Alasan mengapa ia tidak jadi dikirim menjadi salah satu reporter ketika isu hangat tentang pertarungan kaum Liberal gencar diberitakan. Arin kini menemukan jawabannya, ia segera memunguti lembar demi lembar kertas yang berserakan. Lalu pergi tanpa sepatah katapun, meninggalkan dunia yang selama ini seakan tak henti menyakitinya. Dunia penuh titik hitam yang terselimuti seonggok kertas yang begitu laku dipasaran. Dunia yang tidak menerimanya dengan status keIslamannya, meski mayoritas disana seorang muslim. Kegamblangnya dalam mengulas berita membuat semua atasannya gusar, opini-opininya seakan mengancam leher demi leher para boss berdasi di jajaran pimpinan redaksi.

Namun tekadnya kuat untuk menjadi seperti bintang dimanapun ia berada, karena bintang akan tetap bercahaya meski segelap apapun tempat ia berada, bahkan ia membagi cahaya itu pada rembulan hingga mereka bisa bercahaya bersama. Filosofi itulah yang membuatnya masih bertahan sampai detik ini untuk menjadi seorang reporter, meski ia harus meninggalkan perusahaan ber-prestige tinggi dan pindah ke tempatnya sekarang. Ya. Ia menemukan kisah hidupnya, prinsipnya, dan tekad bajanya pada diri aparat satu itu. Bapak Andika Riza Pratama.
Siang tadi ia bertemu dengan Kak Melisa, pemilik butik yang menjadi langganan untuk satu rubrik fashion muslim di majalah tempatnya bekerja. Mereka terlibat percakapan yang cukup seru meski mereka baru saja bertemu. Hingga Kak Mel bercerita mengenai adiknya, seorang pria mandiri yang memiliki prinsip. Seorang anak yang menyayangi ibunya, dengan satu cita-cita : membahagiakan ibunya. Tidak lebih. Meski awalnya Kak Mel tidak yakin dengan pilihan hidup sang adik, namun adiknya itu telah membuktikan semua janjinya.
“Kamu tahu, Rin? Satu-satunya polisi yang saya percaya itu ya cuma adik saya, Andika.” Ujar Kak Mel menutup rangkaian ceritanya. Alis Arin berkerut,

###
Pagi itu mendung menggantung, menandakan gerimis akan datang menyapa bumi yang mengering karena sudah seminggu tak bertemu air. Ujung jilbab Arin berayun pelan mengikuti irama angin yang berhempus lembut, pagi ini kelabu. Sebuah kabar mampir di telinganya bada’ shalat subuh tadi, kerusuhan lagi. Ia memang sudah tidak asing dengan kerusuhan, hampir tiap hari di Jakarta penuh amuk massa. Mulai dari seragam putih abu anak-anak ingusan yang bentrok karena masalah-masalah sepele berujung maut, sampai orang-orang intelek yang jotos-jotosan dalam gedung megah milik Negara.
Semalam sebuah kerusuhan terjadi, sebuah bom molotov entah milik siapa tiba-tiba saja meledak di tengah kerusuhan, menewaskan satu orang dan banyak luka-luka. Baik dari kalangan masyarakat yang bentrok maupun aparat yang berusaha mengamankan. Arin bergegas ke rumah sakit setelah matahari terbit, berniat menjenguk seseorang yang semalam ia lihat di televisi. Seorang polisi menjadi korban peledakan bom Molotov di tengah kerusuhan itu, seseorang yang setelah melihat wajahnya sangat tidak asing. Andika Riza Pratama, begitu sang presenter mengucapkan nama polisi itu dengan gamblang. Segamblang sorotan kamera televisi memperlihatkan bagaimana wajah lemah penuh luka itu sedang terbaring tak berdaya.
Ia sampai pada satu lorong, dilihatnya seseorang yang ingin ia temui sedang terduduk bersama seorang wanita yang Arin kenal sebagai kakak kandungnya. Narasumbernya untuk sebuah tulisan berjudul “Karena Polisi Juga Manusia”, tulisan yang lahir dari sebuah perenungan panjang juga tamparan keras atas kerangka berpikirnya selama ini yang hanya melihat satu sisi saja dari sebuah profesi. Seseorang yang telah membuka pikiran dan hatinya, bahwa tidak semua yang ia lihat bisa didefinisikan dengan sempurna dari satu paradigma. Bahwa di dunia ini ada dua jalan : baik dan buruk, dan manusia bebas memilih dengan segala konsekuensinya. Dan bahwa perjuangan selalu butuh pengorbanan. Untuk menginjak syurgaNya yang manis, kadang perlu keringat, air mata, bahkan darah sebagai gantinya.
“Apa kamu menyesal, Dik?” Tanya wanita di sampingnya dengan mata berkaca, memperhatikan kondisi adiknya yang memperihatinkan.
Andika menggeleng, “Saya tidak akan pernah menyesal Ka, karena saya tidak berhak menyesal. Setelah nikmat Allah berdatangan selama ini, apa patut saya berpaling karena sedikit ujian-Nya saja? Padahal mungkin, ini salah satu ungkapan kasih sayang-Nya untuk saya.”
Subhanallah… Arinda tergugu. Benar, bagaimana mungkin ia menyesal? Setelah semua hasil yang ia tuai, kemarin Arin bertemu Laras, polwan angkuh tempo hari itu telah berhijab sempurna, sikapnya tidak lagi dingin, dan ia hendak pergi untuk pengajian rutinannya. Ia juga sempat menceritakan kalau dikantornya tengah ngetren mengaji. Siapa lagi trendsetter itu kalau bukan Pak Andika Riza Pratama? Lelaki di hadapannya kini.
“Mungkin Allah telah mencukupkan mata ini untuk melihat sampai hari kemarin saja Ka, hanya sebuah titipan.. maka ketika diambil kembali pemilikNya, kita harus siap dan ikhlas.”
Bahu Arin bergetar hebat, Anda menepati janji Anda, untuk istiqomah pada pilihan pertama, Pak Andika. Meski kini Anda tak lagi dapat melihat, meski kini kaki Anda tidak mampu berpijak sempurna, namun iman Anda tetap lurus dan Anda tetap bercahaya seperti bintang segelap apapun tempat Anda berpijak. Tanpa sadar, air mata Arinda meleleh satu-satu.

*diBawahLangit, 26 September 2010


yang ini sempet diikutkan dalam lomba LMCPI Annida,, tapi gak menang.. hehe
so enjoy it!

No comments:

Post a Comment