Seseorang selalu memimpikan kesempurnaan hidupnya, namun sedikit sekali yang menyadari bahwa takdir terbaik selalu lebih manis, bahkan dari kesempurnaan itu sendiri..
Friday, January 21, 2011
Ketulusan di Tepi Trotoar
Aku terpaku menatap tumpukan tanah di sebuah tanah lapang di pinggiran kota Solo. Di atas tumpukan tanah itu mencuat satu batu berukuran sedang, sebagai tanda sederhana bahwa itu tempat peristirahatan seseorang. Tempat peristirahatan sementara setiap manusia yang ingin bertemu Tuhannya. Air mataku meleleh, seseorang yang sangat ingin aku temui telah pergi… bahkan bukan sekedar ingin kutemui, aku sangat ingin memeluknya dan mengucapkan terima kasih.
“Ia bilang, akan ada seseorang yang mencarinya. Seorang mahasiswi cantik dan baik hati, apa itu Mbak?”
“Dia berlebihan, dialah yang sebenarnya baik hati.” Aku menjawab pendek. “Kapan ia pergi?”
“Dua bulan yang lalu, ada flek di paru-parunya selain karena gegar otaknya akibat kejadian itu…”
“Gegar otak? Kejadian apa?”
“Ia dipukuli warga karena diteriaki maling oleh ibu tirinya, beruntung sebagian warga lain berhasil menyelamatkannya. Tapi, ia menderita gegar otak, hanya beberapa hari setelah itu… ia menghembuskan nafas terakhirnya.”
Tangisku semakin menderas, dipukuli?? Diteriaki maling?? Pastilah setelah itu, setelah ia menyuruhku pergi untuk membeli tiket pulang. Pastilah kejadian itu saat aku sedang terduduk manis di gerbong kereta api menuju Bogor, tempat tinggalku. Disaat aku tengah buncah bahagia karena bisa pulang setelah kecopetan yang meraibkan semua barang bawaanku. Namun saat itu pula aku resah, ingin cepat sampai di rumah lalu secepatnya kembali, ke tempat aku meninggalkan anak lelaki itu sendirian, di bawah pohon rambutan yang tengah berbunga…
Lemas. Aku terduduk di trotoar tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingku. Toh mereka pun acuh tak acuh lalu lalang berlalu begitu saja di depan wajahku yang mendung. Dengan wajah yang campur aduk antara bingung, sedih, marah, pikiranku terus menerawang. Tak ada uang sepeserpun di tanganku, handphone lenyap tak berbekas, barang bawaanku tertinggal di kereta karena aku terlalu bersemangat mengejar pencopet itu hingga tidak sadar aku baru saja keluar dari kereta yang akan membawaku ke Yogyakarta dan hanya dalam hitungan menit, kereta itu sudah melaju lagi. Lalu aku dengan sukses melakukan hal bodoh itu.
“Kakak orang baru ya?” sebuah suara kecil menyapaku, bau keringat dan panas matahari menyeruak agak mengganggu indera penciumanku. Anak laki-laki yang kira-kira berumur belasan tahun duduk tepat di disampingku sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan topi lusuh senada dengan lusuhnya pakaian yang dikenakan. Rupanya ini yang menyebabkan tanganku refleks menutup hidung, rasanya aku ingin membentaknya karena dengan semena-mena menyebarkan aroma tidak sedap padaku yang sedang kesal. Orang baru katanya?? Hey, apakah gaya pakaianku sangat kampungan sehingga anak ingusan berumur jagung itu mungkin mengira aku adalah salah satu pelaku urbanisasi dari kampung antah berantah. Aku memutuskan untuk tidak mempedulikan anak kecil itu.
“Saran saya, kakak pindah saja. Disini sudah banyak orang, lagipula setoran disini lebih mahal dari tempat lainnya.” Ujar anak itu sok tahu. “Apalagi kakak ini terlalu rapi untuk menjadi pengamen, terlalu bersih untuk menjadi seorang pengemis, dan… kurang sexy untuk menjadi…” sebelum anak menyebalkan itu melanjutkan kata-katanya, aku langsung memotongnya brutal.
“Hey! Cukup.” Aku setengah berteriak. Tapi wajah marahku berubah menjadi seperti orang linglung ketika tak lagi kulihat ia duduk di sampingku. Kulihat ia tengah melangkah menjauh dariku, syukurlah…sebaiknya anak itu pergi jauh saja daripada menambah masalah. Namun tidak lama kemudian ia kembali, menyodorkan segelas minuman dingin yang menggoda tenggorokanku yang memang kering sejak tadi.
“Buat Kakak.” Ujarnya lugu sambil memasukkan permen lolypop merah jambu ke mulut mungilnya. Ragu-ragu aku mengambilnya, “Terima kasih.” Dan aku berhasil meneguk habis minuman itu dalam hitungan detik.
“Saya baru saja kecopetan.” Terangku tanpa ditanya, berusaha menghapus keburukan perlakuanku tadi padanya.
“Saya tahu.” Jawabnya sambil asik menikmati permennya. Aku menatapnya takjub, ia baru saja membantuku melepaskan dahaga tanpa aku minta. Bahkan ketika semua orang tidak peduli dengan kesedihanku yang baru saja mendapatkan musibah, ia tiba-tiba saja datang menyapaku meski aku bertampang sangat tidak bersahabat. Ya Tuhan, Hasnaa… kau sungguh naïf! Aku mengutuk diriku sendiri. Bukankah anak ini seumuran dengan adik bungsumu?? Husnaa yang lucu dan lugu itu. Ya. Ia hanya seorang anak kecil layaknya anak-anak lainnya, hanya saja mungkin nasib yang membuatnya berbeda. Ia dilahirkan di lingkungan yang tidak mendidiknya menjadi anak lembut dan menyenangkan seperti Husna. Sebaliknya ia dilahirkan di tempat yang keras, yang memaksanya untuk dewasa sebelum waktunya. Namun lihatlah, anak kecil selalu saja baik, bagaimanapun caranya ia telah menolongku.
“Kok bisa?” tanyaku heran, mungkin saja anak ini hanya sok tahu.
“Saya sering melihat orang-orang seperti kakak, merenung sendirian di tepi jalan dengan pandangan kosong. Mereka biasanya akan terlantar dan berakhir di jalanan, ada yang niatnya menjadi karyawan, pengusaha, bahkan konglomerat hanya berakhir menjadi kuli bangunan, pengamen, pengemis, pelacur, bahkan menjadi pencopet seperti yang dilakukan orang di masa lalunya disini.”
“Tapi saya berbeda, saya mahasiswi.”
“Status kakak yang mahasiswi itu tidak memiliki pengaruh apa-apa disini, kalau kakak tidak punya uang.”
Ardi, anak kecil yang baru saja memperkenalkan diri secara sepihak itu cukup cerdas untuk anak seumurannya. Bahkan jawaban-jawabannya sangat bagus untuk anak jalanan yang lahir dan tinggal di lingkungan tidak berpendidikan. Seorang anak jalanan, telah ditinggalkan ibunya ketika berusia 4 tahun yang ia tidak mau mengemukakan alasannya. Setahun kemudian ayahnya pun pergi, berbeda dengan ibu yang pergi karena dipanggil penciptaNya. Ayah dipanggil oleh seorang wanita genit yang dinikahinya. Maka sejak itu, sejak umur lima tahun ia sudah lekat dengan kesendirian di jalanan yang keras. Mengemis, mengamen, bahkan mencopet pernah dilakoninya. Jam terbangnya cukup tinggi untuk seorang pencopet cilik, namun kini ia lebih memilih menjual Koran. Meski ia tahu pendapatannya sangatlah kecil dibandingkan mencopet, namun gurunya bilang itu lebih baik karena halal. Entahlah siapa seseorang yang ia sebut guru itu, pastilah seorang hebat yang mampu merubah Ardi dan menanamkan kebaikan di hati anak kecil ini. Meski aroma tidak sopannya masih tetap ada, terbukti dengan pernyataannya sok tahunya tadi.
###
“Kakak pasti lapar?” Tanya Ardi seusai aku menunaikan sholat ashar di mesjid terdekat saat itu. Aku mengelus perutku, apakah suara cacing-cacing ini terdengar oleh telinga Ardi. Tanpa basa-basi aku mengangguk, aku sangat lapar.Ardi tersenyum, dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku kira ia akan mengajakku ke warteg atau warkop yang biasanya hanya menyediakan menyediakan mie rebus atau mie goreng, apapun itu aku akan melahapnya. Tapi lihatlah, anak jelek dan kucal ini membuatku terpaku di depan pintu kaca otomatis berlogo sebuah merk ayam goreng terkenal, frenchise dari luar negeri sana. Yang di Negara asalnya didemo habis-habisan karena dianggap tidak sehat, namun sebaliknya di negeri ini semua memujanya. Ya, ayam goreng merk import ini memiliki prestige tersendiri di sini.
“Kita makan disini?” aku mengeluarkan pertanyaan bodoh.
“Menurut kakak?” jawab Ardi tersenyum menggoda.
Aku menggeleg cepat, rasanya aku belum siap harus cuci piring atau ditangkap polisi karena tidak bisa bayar. Namun dengan cepat anak itu menarik lenganku dan berhasil membuatku berdiri di sampingnya yang sedang asyik memilih menu, dilayani oleh seorang waiters berwajah jutek.
“Mau pesen apa?!” tanyanya ketus. Aku tersentak, para waiters yang biasanya berwajah ramah dan selalu tersenyum menyambut konsumen tiba-tiba berubah menjadi seseram monster. Kalau saja di kantongku masih tersisa dompet, aku sudah menyumpal mulutnya.
“Mmm.. kalau paket A itu isinya apa?” jawab Ardi masih menatap gambar-gambar menu yang terpampang, semuanya tampak enak.
“Ayam, nasi, softdrink. Harganya sepuluh ribu.”
“Kalau paket B?”
“Ayam, nasi, kentang goreng, softdrink. Lima belas ribu.”
Ardi mengangguk-ngangguk, wajah sang waiters semakin berlipat. Konsumen baru datang, Ardi ditinggalkannya. Ia tersenyum sangat manis, menyapa dengan suara lembut. Berbeda sekali dengan pertanyaannya ke Ardi tadi, mungkin karena konsumen yang kini datang adalah seorang Koh Cina yang kelihatannya berdompet tebal. Ia kembali pada Ardi yang masih berdiri mematung memandangi aneka menu, “Jadi pesen yang mana?!” kembali ketus, mungkin ia berkepribadian ganda! Atau mungkin menurutnya hal itu pantas dilakukan kepada anak kecil miskin di hadapannya, padahal gajinya pun tidak seberapa. Mana boleh memandang rendah begitu, aku geram.
“Kalau softdrinknya diganti teh manis bisa?”
“Ya bisa, jadi harganya tiga belas ribu.”
“Hmmm…. Kalau begitu pesan paket A aja dua porsi ya.” Order Ardi akhirnya.
Waiters itu menggerutu, mungkin kesal karena sudah banyak tanya tapi pesannya yang murah-murah juga. Menghabiskan waktunya mungkin, padahal ia juga tidak sibuk-sibuk amat, pikirku mangkel melihat wajah sombongnya. Lalu Ardi mengambil uang dari saku mungilnya, seperti yang kuduga : semuanya uang receh. Ia menghitungnya satu-satu di atas meja kasir, cukup lama sampai akhirnya terdapat dua gunduk uang receh, dua puluh ribu rupiah dan sepuluh ribu rupiah di sebelahnya.
“Ini dua puluh ribu bayar ayamnya, ini sepuluh ribu untuk mbak karena sudah membantu saya bisa makan ayam goreng disini…terima kasih ya mbak.” ujar Ardi sumringah.
Aku terkesiap, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Anak kusam, jelek, dan dianggap remeh tadi oleh sang waiters lebih memilih menu termurah dan memberikan sisa uangnya pada waiters yang jelas-jelas bersikap tidak ramah tadi! Subhanallah… mataku berkaca-kaca, ingin segera memeluknya erat, namun egoku mengalahkan keinginanku.
Kurasa waiters itu sama kagetnya denganku, mungkin kepalanya serasa ditimpa palu beton puluhan kilo. Bagaimana mungkin ia yang tadi sangat kesal dan meremehkan anak itu kini malah menerima ucapan terima kasih dan memberinya uang sepuluh ribu. Mungkin banyaknya memang tidak seberapa, namun orang-orang berdompet tebal sekalipun sangat jarang ada yang memberinya uang. Meski nilainya tidak seberapa di mata mereka, mereka lebih memilih mengantongi uang kembalian ke sakunya masing-masing. Mungkin untuk ditumpuk di pundi-pundi uang mereka. Tapi anak ini, ia sangat yakin uang senilai sepuluh ribu tidaklah mudah didapatkan oleh anak kecil macam itu. Butuh kerja keras dan pengorbanan yang banyak, ia berkaca-kaca. Tidak kuasa berkata apa-apa bahkan untuk mengucapkan terima kasih kembali.
Sementara aku semakin terpesona pada anak kecil berhati mulia ini, ia bahkan tidak menyadari kalau apa yang dilakukannya tadi sangat luar biasa untuk anak kekecil dia. Atau mungkin semua anak kecil selugu dia, berbeda dengan orang dewasa yang telah luntur ketulusannya?
“Ardi, kenapa kamu baik sekali pada kakak?”
“Saya hanya ingin ditemani makan disini, saya takut kalau sendirian. Nanti diusir satpam, kayak kemarin.” Jawab Ardi, aku geli sekaligus miris mendengarnya. Ya, baru saja Ardi menceritakan kalau kemarin siang ia juga berniat kesini sendirian, berbekal uang yang tadi ia bawa. Namun seorang satpam berkumis tebal malah menyuruhnya pergi, ia tidak percaya kalau Ardi hendak makan disana. Bapak satpam itu mengira Ardi akan mengemis atau setidaknya mengamen di dalam yang akan mengganggu pelanggan. Rupanya beginilah gambaran masyarakat kita, padahal sama-sama miskin, sama-sama kekurangan, tapi soal rendah-merendahkan rasanya nomer satu.
“Selain itu?”
“Tidak ada.” jawabnya cuek.
“Tapi apa tidak apa-apa uangnya dihabiskan untuk makan disini? Nanti setoran kamu?”
“Ini uang hasil tabungan saya, Ka. Keuntungan menjual Koran setiap hari, uang yang berhasil saya sembunyinkan dari preman-preman.”
Aku mengangguk, ya kehidupan jalanan memang tidak jauh dari aksi premanisme. Korbannya pun beragam dan yang paling banyak tentu saja anak ingusan macam Ardi. Aku sempurna menghabiskan hidanganku, dan Ardi masih asyik membersihkan piringnya. Aku memperhatikannya, mungkin ini kali pertamanya anak ini makan disini. Begitu banyak orang yang obesitas karena banyak mengkonsumsi junkfood, sementara di sisi kehidupan lainnya ada anak-anak seperti Ardi yang bahkan untuk pertama kalinya merasakan makanan ini. Mereka berteriak menyalahkan produsen, padahal jika saja mereka tidak makan berlebihan, jika saja mereka membagi makanannya pada orang lain yang kekurangan, mungkin perut-perut mereka tidak akan segendut sekarang.
###
Aku mendengus resah, bingung, rupanya setelah perutku kenyang terisi makanan. Kepalaku tetap pusing, memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke Bogor, atau setidaknya dapat melanjutkan kembali perjalananku ke Yogyakarta untuk daftar ulang masuk Universitas disana. Kalau saja aku ingat satu nomer telpon yang bisa kuhubungi, ada tapi satu-satunya itu adalah nomer handphoneku sendiri. Huh! Aku memang pelupa parah, aku bisa saja meminjam uang Ardi untuk menelpon orang rumah, namun masalahnya kini terletak pada memori-ku yang tidak menyimpan nomor keluargaku sendiri. Menyesal sekali terlalu bergantung pada memori handphone.
“Lalu bagaimana cara kakak untuk pulang?”
Aku mengangkat bahu, bingung hendak berkata apa. Tidak ada satu ide pun terlintas dipikiranku.
“Kakak ikut saya.”
Keningku berkerut, hal aneh apalagi yang akan dilakukannya??
Kami memasuki gang-gang sempit, aroma semerbak got penuh sampah tercium pekat. Pemandangan kumuh ini sangat sering kulihat di televisi, namun baru kali ini aku benar-benar menyaksikannya, bahkan merasakannya. Meski orang-orang yang berebut sampah sebagai mata pencahariannya itu bekerja tanpa menangis atau keluhan, tapi ini sangat miris. Bagaimana mungkin sebagian orang bekerja di lingkungan ber-AC, pulang pergi ke luar negeri, bahkan banyak yang gabut-gaji buta- tapi bisa makan enak hingga buncit. Sementara sebagian lain terpanggang matahari hanya untuk mendapat seperak dua perak uang, hanya sekedar untuk sesuap nasi yang bahkan tidak membuat kenyang.
“Kakak tunggu disini.” Ardi mamaksaku untuk tetap diam di tempat, tidak beranjak apalagi sampai mengikutinya masuk ke salah satu rumah kardus yang terletak beberapa meter saja dari tempatku berdiri.
“ANAK SIALAN! HEH, SINI LU! JANGAN KABUR!” suara teriakan itu menggema seiring dengan langkah kaki Ardi yang keluar dari rumah sekaligus asal suara itu. Ia melesat meninggalkan seorang wanita berkaos belel warna putih kusam dengan kain sarung, tangannya menggenggam kipas bambo yang ia tunjuk-tunjukkan ke arah Ardi lari. Aku tidak sempat menyaksikan apalagi yang terjadi karena Ardi dengan cepat menarik lenganku dan aku dengan terpaksa mengikuti langkah cepatnya, berlari entah mengejar atau dikejar apa. Tapi yang pasti jantungku saat itu berdetak sangat cepat, ada apa ini??
Kami berhenti di suatu tempat, agak jauh dari kumpulan rumah kumuh tadi. Aku terengah-engah, sangat lelah. Tapi tidak menyurutkan rasa penasaranku, “Apa yang kamu lakukan Ardi?! Kamu mencuri?!” aku berteriak marah.
Ia menggeleng takut melihat kobaran api di mataku, lalu terduduk di bawah pohon rambutan yang tengah berbunga. “Saya bukan pencuri.” Ujar Ardi pelan.
“Awalnya saya percaya itu, tapi sekarang? Setelah saya melihat peristiwa ini, apa kamu masih mau membohongi saya?!”
“Dia yang pencuri, wanita itu yang pencuri! Dia mencuri ibu saya, dia mencuri bapak saya, dia mencuri semua yang saya punya!!” mata Ardi memerah, mungkin menahan air mata yang hampir tumpah. Aku tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya, namun tidak tega juga melihatnya.
“Ibu kamu sudah meninggal, ikhlaskan.. dan jangan jadikan alasan untuk berbuat buruk pada orang lain.”
“Ibu bunuh diri karena bapak nikah lagi, lalu wanita itu yang suruh bapak mengusir saya dari rumah. Adik saya yang masih bayi ditinggal di panti asuhan yang sampai sekarang saya tidak tahu tempatnya. Lalu apa saya salah mengambil ini? Mengambil milik ibu…” akhirnya ia menangis sesungukan. Aku terduduk lemas, anak sekecil ini… sudah harus menanggung derita sedemikian dahsyat.
“Ini punya ibu?” aku bertanya memastikan sambil menunjuk sebuah kotak kecil berwarna merah, sebuah tempat yang biasanya digunakan untuk menyimpan perhiasan. Tanpa kuminta, ia menyerahkan kotak itu padaku. Aku menerimanya, lalu membukanya perlahan, sebuah kalung emas yang entah beratnya berapa gram. Namun tetap saja ini benda berharga, meski mungkin harganya tidak semahal berlian, namun nilai historisnya.. sebuah benda kepunyaan orang tersayang selalu lebih berarti.
“Itu buat kakak, buat beli tiket pulang.”
Apa? Aku tercenung, tidak percaya dengan apa yang diucapkannya. “Kamu jangan bercanda, Ardi.”
“Saya serius, saya tahu rasanya kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya tidak mau hal yang sama menimpa orang tua kakak, mereka pastilah merindukan kakak. Saya tidak mau nasib kakak berakhir di jalanan.” Ia menatapku tulus, aku tidak sadar kalau itulah salam perpisahannya. Salam terakhirnya untukku.
“Sayalah penyebabnya, saya bersalah…” ujarku lemah.
“Ia sudah tenang, sudahlah Mbak, tidak ada yang salah. Semua sudah takdir, bahkan ia meninggal dalam keadaan terbaiknya. Meninggalkan mengemis, mencopet, dan beralih menjadi tukang Koran. Ia bahkan sempat menolong orang, bukankah begitu?”
“Anda siapa?” tanyaku seraya menatapnya, seorang lelaki bersih dan rapi-pemandangan langka di pemukiman kumuh seperti ini.
“Saya warga kampung sebelah, kebetulan sudah menganggap Ardi adik sendiri. Ia sering ke rumah untuk sekedar diajarkan membaca dan mengaji.”
“Jadi Anda yang dipanggilnya sebagai guru itu?” aku menatapnya takjub.
“Setiap orang wajib menjadi guru bagi orang lain, memberikan contoh teladan, berbagi kebaikan, mungkin Mbak juga guru bagi Ardi atau sebaliknya, semoga Ardi pun menjadi guru bagi Mbak.”
“Ya, ia telah menjadi guru yang mengajarkan ketulusan pada saya.”
Lelaki itu tersenyum teduh, lalu meninggalkanku sendiri. Di bawah pohon rambutan yang kini tengah berbuah.
diBawahLangit, 9 Oktober 2010
yang ini juga pernah diikutkan lomba,, tapi lupa lomba apaan..hehe dan again.. gaka da kabar beritnya.. so dapat disimpulkan, 'gagal maning gagal maning' hehehe
Labels:
Cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
Sepotong Episode
(72)
Curhat Colongan
(46)
Crispy Notes
(44)
Cerpen
(18)
HariHariKu
(17)
Epilog
(14)
ngaco.com
(14)
tarbiyah is so cool
(14)
Intermezzo
(11)
akhwat tangguh
(11)
tentang cinta
(7)
dreamy
(6)
JalanJalan
(5)
Jobseeker
(5)
Quotes.
(5)
Puisi
(4)
30 Hari Mengejar Sidang
(3)
Ala Korea
(3)
Tips Menulis
(3)
Konstelasi Bintang
(2)
pemimpi
(2)
2012
(1)
Diet
(1)
Favorit
(1)
Fiktif
(1)
IPT Perah
(1)
Media
(1)
Opini
(1)
Politik
(1)
Pria
(1)
Resolusi
(1)
Sejarah
(1)
ShareTweet
(1)
Tokoh
(1)
Wisuda
(1)
resensi
(1)
No comments:
Post a Comment