Monday, June 11, 2012

Sekelumit Episode Hidup (AnnidaOnline,6 Juni 2012)

Semua orang ingin sukses. Entah ia berada di belahan dunia barat atau timur, utara maupun selatan. Profesi dokter, pengacara, maupun tukang becak; mereka ingin menjadi dokter yang sukses, pengacara sukses dan tukang becak sukses. Tetanggaku ketika ditanya hendak jadi apa kelak dewasa nanti, selalu dijawab ‘menjadi orang sukses’. Jawaban yang sebenarnya ambigu, apakah dia mau jadi pencuri yang sukses?
Ah, tentu saja niat bertanya itu ku urungkan. Meski sah saja jika aku bertanya, karena sebenarnya profesi itu pun nyata adanya. Jika tak nyata, tentu motor Bang Kasim tak akan lenyap ketika di parkir di depan mini market seminggu yang lalu. Mak Tini tak akan merasakan bagaimana dukanya kehilangan kalung mas seberat 5 gram karena dijambret copet. Ibuku tak akan mengumpat ketika sadar baju yang dijemurnya pagi tadi menghilang tanpa jejak. Dan aku tak akan pulang ke rumah tanpa alas kaki seusai shalat jum’at di mesjid.
Sukses. Itu juga impianku ketika aku mulai memahami arti enam huruf yang sering terdengar ketika ada seseorang yang mengalami keberhasilan dalam hidup. Aku ingin sukses, maka aku berusaha giat belajar hingga akhirnya selalu menjadi juara bertahan di sekolah dasar. Aku pun dinobatkan jadi anak SD yang sukses tanpa mendapatkan plakat penobatan seperti yang sering kulihat di televisi. Toh tanpa itu pun, semua orang tahu. Guruku, orang tuaku, teman-teman sekolahku, orang tua teman-temanku yang sering menjadikan namaku sebagai kata motivasi bagi anak-anak mereka di setiap jam belajar di rumah mereka. Mereka semua tahu siapa Galang Saputra.
Sukses pun terus mengiringiku, seakan aku dan enam huruf ajaib itu adalah dua sejoli yang sulit untuk dipisahkan. Aku menikmatinya. Sangat menikmatinya. Sukses itu pun melanggengkanku masuk SMP favorit di kabupaten tanpa tes dan digiringnya aku ke kelas kumpulan anak ‘sukses’. Terus. Terus. Hingga aku pun lulus dengan nilai memuaskan dan mengantongi tiket masuk SMA favorit tanpa tes. Tidakkah Tuhan sangat menyayangiku? Aku menikmati masa putih abuku; hangout, bersosialisasi, berorganisasi, lulus dengan nilai memuaskan. Lantas memberanikan diri mengikuti ujian tulis masuk perguruan tinggi negeri. Kalian pasti sudah tahu hasil ujianku. Ya, aku lulus ujian masuk PTN di pilihan kedua! Yihaa! Sukses adalah sahabat sejatiku. Tuhan memang sangat menyayangiku.
***
Selamat saudara Galang Saputra, Anda dinyatakan lulus dengan nilai A. Dan berhak menyandang gelar Sarjana Peternakan. Semoga ilmu Anda dapat bermanfaat di kemudian hari.
12 Desember 2011. Aku resmi menjadi seorang sarjana! Gelar yang sejak kecil kuimpikan karena terinspirasi dari tayangan ‘Si Doel Anak Sekolahan’ yang ku tonton malam hari bersama keluarga dan para tetangga. Aku ingat betul adegan ketika keluarga Si Doel menyambut gegap gempita kelulusan sarjana di keluarga mereka. Euforia semacam itu pun lantas menjadi milik keluargaku juga. Betapa sukses sangat membahagiakan bukan? Aku pikir juga begitu. Sampai aku merasakan, GAGAL.
Enam huruf ajaib itu berubah menjadi lima huruf menyakitkan. Rupanya jodohku dengan kesuksesan berakhir setelah aku menapaki dunia pasca kampus, tepat setelah gelar itu kusandang dengan jumawa. Atau ini karena jatah kesuksesanku sudah habis? Kenapa justru habis saat sangat kubutuhkan!
“Jangan berprasangka buruk sama Allah, Lang.” Yaofi, sahabat karibku itu tengah serius menasehatiku. Meski ia sadar betul, kini tak ada nasehat yang benar-benar masuk ke dalam hatiku. Semua nasehat seakan mental kembali bak bola bekel.
“Lalu kenapa Ia tidak juga menurunkan rizkiNya padaku, Yof? Aku lelah! Apalagi jika ibu dan bapakku sudah mengeluh macam-macam sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa.” Aku membekap wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku lelah tak punya pekerjaan sedangkan pendapatan untuk menghidupi kami sekeluarga hanya ditopang dari toko sembako orang tuaku yang tak tetap. Apalagi, menyandang gelar sarjana pengangguran itu seakan menjadi aib tersendiri; baik di keluarga besar maupun lingkungan tetangga rumah.
Kekecewaan demi kekecewaanlah yang membuatku menjadi selemah ini, seputus-asa ini. Bermula ketika sebuah perusahaan penerbitan ternama mengundangku untuk interview dan wawancara di kantornya di bilangan Jakarta Selatan. Aku merasa semua berjalan begitu lancar, meski latar belakang pendidikanku sempat dipertanyakan, tapi mereka tampak puas dengan jawabanku. Hari berbilang minggu, minggu berbilang bulan, tak ada pemberitahuan dari pihak perusahaan. Itu artinya aku tidak diterima. Aku gagal.
Aku tenggelam dalam kekecewaan, kusalurkan perasaan itu dalam sebuah tulisan. Aku memang memiliki hobi menulis dan tulisanku itu sempat beberapa kali dimuat di media remaja. Maka aku berharap hobi ini dapat mengobati sedikit kekecewaanku, aku segera mengirimkannya ke sebuah media. Seminggu. Hanya butuh waktu seminggu untuk menerima kekecewaan kembali. Tulisanku ditolak dengan alasan tanpa embel-embel apapun kecuali satu kata; monoton. Jleb! Aku patah hati. Kutinggalkan microsoft word-ku sebulan penuh.
Aku kembali menghanyutkan diri di berbagai area informasi lowongan pekerjaan. Berkutat dengan curriculum vitae dan application letter, berharap undangan interview segera menyambangi e-mail atau telpon selulerku. Dua minggu kemudian aku pun diundang sebuah perusahaan kosmetik terbesar di tanah air untuk tes dan interview, tahap demi tahap kulewati hingga di tahap akhir; aku kembali gagal. Aku kesal. Marah pada diri sendiri.
Intererview demi interview, tes demi tes, panggilan demi panggilan, berakhir pada satu titik; kegagalan. Jenuh. Aku kembali merangkai huruf, menumpahkan segala macam jenis kecewa yang berkecambuk di hatiku. Message send! Nekat. Kukirim tulisan itu ke sebuah media yang sama. Dan tak kusangka, jawabannya tetap sama; monoton. Bahkan hatiku kecilku mempertanyakannya, tidak bisakah menggunakan kata lain selain tujuh huruf itu? Setidaknya untuk memberikan harapan bahwa aku masih bisa memperbaikinya. Atau… mungkin saja sebenarnya tulisanku itu memang amat sangat buruk, aku memang tidak berbakat, pemuatan sebelum-sebelumnya hanya kebetulan saja! Aku tidak berbakat menulis. Ya. Aku tidak berbakat.
“Kesimpulan yang terlalu melodramatik.” Komentar Yaofi ketika aku kemukakan berbagai alasanku.
“Kau bisa mengatakan itu karena kau tidak merasakannya.” Ujarku kesal. Alih-alih memberikan simpati, ia malah tersenyum sinis. Mungkin aku juga salah memilih teman! Sebagai teman sejak kecil, bagaimana mungkin ia bersikap tidak empati seperti itu terhadap sahabatnya.
“Kau ingat, Lang? Saat aku menangis di pelukan ibuku selepas menerima rapor sekolah dasar?”
Aku berusaha mengembalikan ingatan ke masa itu. Yaofi Fadli, anak laki-laki yang terkenal preman di sekolah mendadak menjadi sangat cemen kala itu. Tanpa sadar, aku tersenyum mengingat kejadian belasan tahun lalu.
“Kau tahu kenapa aku menangis?”
Aku menggeleng, “Ibumu bilang, matamu kelilipan sesuatu.” Aku memang tidak benar-benar tahu. Hanya itu yang dikatakan oleh ibu Yaofi saat itu.
“Ia berbohong. Aku menangis karena kau menggeser posisi yang selama dua tahun menjadi milikku.”
Jleb! Ada sesuatu yang menusuk ulu hatiku. Ya. Sebelum aku dinobatkan menjadi juara di sekolah dasar saat kelas III, Yaofi-lah yang menempati posisi itu dua tahun berturut-turut.
“Kau tahu, aku merasa amat tersiksa karena sejak hari itu aku selalu menjadi orang nomor dua di bawahmu. Aku berusaha keras belajar setiap sepulang sekolah dan malam hari, tapi aku tak pernah bisa mendapatkan posisi itu kembali bahkan sampai kita lulus kelas VI.”
Aku terperangah menyadari kenyataan yang selama ini disembunyikan sangat rapi oleh Yaofi. Tapi ia tersenyum santai, “Masa itu sudah berlalu, Lang. Kau tidak perlu khawatir.”
Aku menghela nafas; lega karena mendapati Yaofi tak lagi membawa rasa sakit hatinya semasa SD itu ke masa kini. Buktinya di sela aktivitasnya yang padat, ia menyempatkan diri berkunjung ke rumahku akhir pekan ini setelah aku mengirimkan sms tersirat tentang rasa putus asa yang tengah melandaku.
“Lalu, kau diterima di sekolah favorit tingkat kabupaten. Aku sudah harus merasa puas sekolah menengah pertama di sekolah favorit tingkat kecamatan.” Aku kembali dibuat terperanjat oleh pengakuannya.
“Namun takdir mempertemukan kita kembali di SMA. Kita berada di sekolah favorit yang sama. Aku tak merasa kalah lagi denganmu.”
Jujur aku bingung harus berekspresi seperti apa.
“Sampai saat itu, saat kita sama-sama mencita-citakan kampus yang sama. Berjanji melakukan banyak hal saat menyandang status mahasiswa di kampus itu. Bahkan kita bersama-sama mengikuti bimbel untuk mencapai impian itu.” Mata Yaofi menerawang ke luar jendela. Tanpa ia lanjutkan, sebenarnya aku sudah tahu kelanjutannya. Aku diterima dan dia tidak. Tapi dengan bodohnya di malam itu, di malam pengumuman hasil ujian masuk PTN. Aku mengeluh karena hanya mendapatkan pilihan kedua, bukan pertama. Saat itu ia mengirimkan pesan singkat lewat telpon selulernya “That’s better than me; GAGAL.”
“Yof..” aku tak mampu merangkai kata. Semua huruf seperti berhamburan. Aku sulit menangkapnya satu persatu untuk kususun menjadi kalimat terbaik yang ingin kupersembahkan untuknya. “Lalu, setiap kita bertemu. Aku hanya sibuk menceritakan betapa sulitnya masa kuliahku disana, mengeluhkan nilai ujianku yang tidak sempurna, kelelahanku mengurusi organisasi, sampai IPK-ku yang hanya tiga koma nol.” Aku menarik nafas berat; menyadari sungguh kurang bersyukur diri ini atas semua yang kudapatkan. “Kau marah?” aku bertanya ragu.
“Awalnya, ya. Tapi kehidupan memberikan pembelajaran yang tak ternilai. Aku menemukan banyak hikmah di setiap apa yang kualami. Aku yakin yang Allah berikan, itulah yang terbaik untukku.”
“Ya, kau sudah mendapatkannya, Yof.” Aku tertunduk lesu, menyadari sahabatku ini telah enam bulan bekerja di sebuah perusahan ternama dengan gaji di atas rata-rata. Ia lulus tiga setengah tahun dengan predikat cumlaude.
Yaofi menepuk bahuku, semacam memberikan energi positif agar aku bersemangat. “Ia memberikan jalan hidup yang berbeda untuk setiap individu. Ingat, Lang! Pintu rizki itu banyak, bukan hanya ada di kantong para CEO perusahaan. Lagipula, pemberi rizki yang sebenarnya kan Allah. Tenang saja, hewan melata pun sudah ada rizkinya. Ia tidak akan menelantarkan hambaNya.”
Ada yang basah di pipiku. Betapa tanpa sadar aku telah menggantungkan harap pada para CEO perusahaan, berusaha memikat mereka dengan tampilan curriculum vitae semenarik mungkin, berusaha memberikan jawaban terbaik saat interview agar mereka terkesan, berpenampilan rapi dan sesempurna mungkin. Apa yang kuberikan pada Rabbku? Pemilik rizki yang sesungguhnya. Pemilik hati para atasan di gedung-gedung pekantoran. Sudahkah amal terbaik? Bagaimana mungkin meminta rizki turun segera, tapi amalku lebih sering tertunda-tunda.
***
“Pak, order seribu butir untuk pekan depan ya! Dikirim ke tempat biasa.”
“Siap, Bos!” aku sedang menutup telpon selulerku dan mencatat pesanan konsumen. Ketika sebuah mobil avanza berhenti di halaman rumah.
“Assalammu’alaikum, sibuk nih?”
Aku menjawab salamnya dan cepat-cepat menghampiri tamu sekaligus sahabatku itu. “Biasa, Yof. Ada apa pagi-pagi ke sini? Mau order telur asin?” Ah iya! Aku belum bercerita ya? Setelah aku menyadari semua kesalahanku dalam menjemput rizki, aku segera memperbaikinya. Kembali mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan. Penolakan demi penolakan kembali terjadi, tapi aku tak lagi menanggapinya dengan melankolis. Aku terus berbaik sangka bahwa Ia telah menyiapkan rencana terbaikNya. Aku juga masih mencoba menyalurkan hobi dengan menulis; ini pun tak berjalan mulus. Tapi setidaknya aku menanggapi komentar redaksi sebagai cambuk untuk memotivasi menulis lebih baik lagi-tidak seperti sebelum-sebelumnya yang kutanggapi dengan aura pesimis serta sinis.
Kini aku merupakan produsen telur asin terbesar di kotaku, memiliki puluhan agen di berbagai kota di seluruh Indonesia. Bahkan saat ini aku tengah merancang sebuah outlet pusat makanan khas kotaku yang akan menjaring produsen UKM kecil menengah yang selama ini tersendat pemasarannya. Kalian tahu bagaimana aku mendapatkan ide usaha telur asin?
Ide ini bermula dari kiriman sepuluh butir telur itik dari pamanku. Iseng aku mengaplikasikan ilmu yang pernah kudapat di bangku kuliah. Percobaanku pun berhasil! Kebetulan Yaofi tengah berkunjung ke rumah saat telur yang selama dua minggu kusimpan dalam balutan abu dan garam selesai kurebus.
“Kenapa tidak coba usaha telur asin, Lang? Aku dengar, produsen telur asin masih sedikit di sini, sedangkan permintaan terus meningkat. Itung-itung mengisi waktu sambil menunggu panggilan kerja.” Ujarnya sambil mengunyah telur asin buatanku yang menurutnya enak. Kenapa tidak pernah terpikir hal ini?
“Tapi…”
“Aku pinjamkan modal jika kau berminat.” Potongnya seolah mengerti maksudku. Aku tersenyum lebar. “Baiklah! Aku terima tantanganmu!”
Dan aku tak pernah menyangka perkembangannya dalam tiga tahun sepesat ini. Tentu ini tak lepas dari campur tanganNya. Ini hal yang mustahil? Ah, tidak ada yang mustahil di dunia ini selama Ia menghendaki! Perjalanan tiga tahun ini bukan perkara yang mulus seperti jalan tol. Butuh berlembar-lembar kertas untuk menuliskan cerita ini tersendiri. Tapi cukuplah ayat cinta dariNya ini yang mampu menggambarkan semua…
Sesungguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan. Sungguh, setelah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah; 5-6)
Seperti adam yang diciptakan berpasangan dengan hawa, begitu pula kesulitan yang diciptakan berpasangan dengan kemudahan 
Desti Adzkia
diBawahLangit, 1 Juni 2012_12:39

AnnidaOnline

No comments:

Post a Comment