Sunday, July 17, 2011

Mode Paris


Ini cerpen terbaru saya yang dimuat di Annida, sebenernya awalnya cerpen ini berjudul "Jilbab Paris, Nay!" tapi mungkin karena judul itu kurang menjual menurut redaksi, jadi diganti oleh redaksi annida menjadi "Mode Paris". Sa
ya sih oke2 aja selama perubahan ini tidak merubah esensi nilai yang ingin saya sampaikan di cerpen ini, so... check it out!!

“Rambut lu baru dipotong ya?” ujar Adi yang tiba-tiba saja muncul di depan hidungku, tempe goreng yang sedang kukunyah merangsek masuk ke tenggorokan, alhasil aku batuk-batuk karena keselek.

“Heh, sok tahu banget!” aku mengumpat setelah meneguk segelas es teh teman makan tempe goreng tadi.

“Hahahaha…padahal kalo cewek itu bagusan rambut panjang lho…” ia tertawa girang sekali sambil ngeloyor pergi. Mukaku berlipat tujuh. Mana mungkin ia tahu kalau baru kemarin sore aku memotong rambut menjadi sebahu? Apa Adi memergokiku masuk salon? Tapi kan salon langgananku itu salon khusus perempuan. Selera makanku hilang seketika. Kutinggalkan satu potong tahu goreng di piringku, segera kembali ke kelas mungkin pilihan yang tepat.

Di kelas, dua sahabatku sedang ngobrol seru sekali; atau lebih tepatnya penuh emosi karena ada acara gebrak-gebrak meja segala. Pastilah itu kerjaannya si Tami yang tomboy abis, terdengar nama Adi disebut-sebut akupun langsung bersemangat menghampiri mereka untuk mengadukan kekesalanku atas insiden di kantin tadi. Mereka yang menyadari kedatanganku segera menarikku ikut bergabung ke obrolan seru mereka.

“Kalian ngomongin apa sih?”

“Itu si Adi kurang ajar banget!” ujar Tami geram. Aku memilih menunggu ia melanjutkan kata-katanya. “Dia tukang ngintip!”

“Haaaa?” mulutku menganga lebar. “Dapet kabar darimana?”

“Iya Nay, Tami bener!” Tasya menjawab yakin, lalu mengalirlah cerita itu darinya. Cerita yang sebenarnya hampir mirip dengan yang aku alami di kantin tadi. Saat itu Tasya dan Tami sedang duduk-duduk di depan kelas, dan Adi si manusia iseng itu tiba-tiba muncul. “Sya, tumben rambutnya gak dikepang?” ujar Adi yang digambarkan berekspresi sangat menyebalkan oleh Tasya. “Tam, loe sekali-kali dikepang dong kayak Tasya. Jangan dikuncir kuda melulu! Oh iya gue lupa, rambut loe kan pendek ya? Hahaha….” Manusia iseng itu kabur sebelum kena bogem mentah Tami. Aku masih belum mengerti darimana Adi tahu bagaimana bentuk rambut kami. Kami ini kan biar dijuluki genk anak gaul di kelas tetap berusaha menjadi muslimah yang baik dengan mengenakan jilbab mulai lebaran tahun lalu.

“Bener Tam, gue yakin banget kalo dia ngintipin kita!” Tasya masih memaksakan hipotesisnya ke Tami. Bel masuk setelah istirahat berbunyi nyaring, semua teman sekelasku masuk kelas berebutan. Seperti sekawanan rusa yang lari terbirit-birit dikejar serigala. Bunyinya mengganggu sekali. Seseorang yang jadi bahan obrolan kami bertiga itu masuk dengan tampang innocent sambil nyengir kuda. Otomatis tiga pasang mata melotot ngajak ribut.

***

Sepulang sekolah, seperti biasa aku dan kedua sahabatku itu tidak langsung pulang. Kami akan duduk di pinggir lapangan untuk menonton eskul basket latihan sambil menyeruput teh botol.

“Neng-neng cantik gak pada pulang?” kami bertiga refleks menoleh ke arah suara yang sangat familiar itu secepat kilat.

“Heh, jangan cari gara-gara lagi ya, Di!” Tami naik pitam.

“Oh.. santai bos..” Adi mencoba menenangkan Tami yang sudah bersiap mengeluarkan jurus karatenya. “Emangnya gue ada salah apa?” tanyanya enteng membuat mata Tami makin menyala.

“Loe ngintipin kita kan?!” teriak Tasya cempreng hingga membuat beberapa orang di sekitar kami melirik lalu kasak-kusuk di belakang. Rasanya aku ingin menyumpal mulut Tasya kalau aku tidak ingat ia juga sahabatku.

“Haaaah? Buat apa?”

“Buktinya loe tau rambut kita bertiga, ayo ngaku!” Tasya buka mulut lagi. Aku menepuk jidat. Tami menghela napas. Kasak-kusuk makin ramai.

“Buat tahu itu gak usah repot-repot pake ngintip segala kali, Sya.”

“Maksud loe?” kami bertiga hampir bersamaan.

Adi tersenyum bagai berada di atas angin, sangat menyebalkan! “Iya, loe tanya Rahmat yang notabene ketua Rohis kita juga dia pasti tahu. Jilbab kalian itu transparan, jadi bisa keliatan. Katanya mau nutup aurat, tapi kok gak menyeluruh. Kalo gitu sama aja kayak si Elisabeth, bisa ketahuan dia hari ini dikuncir apa gak, lurus apa keriting. Haha….”

Wajahku memerah. Sementara Adi ngeloyor pergi setelah membuat kami seperti kepiting rebus yang siap diserbu para pemburu berita. Rencana kami menonton basket dibatalkan mendadak, Tami berjalan sambil mencak-mencak di depanku. Tasya tampak seperti orang linglung memperhatikan Tami marah. Aku? Rasanya ingin menangis guling-guling di lantai sambil menggaruk tanah jika tidak ingat malu.

Sepanjang perjalanan pulang, tak ada yang bersuara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlebih pikiranku yang sudah melayang ke beberapa bulan silam, saat kakak perempuanku bersiap kembali ke Malang setelah libur panjang kuliah.

“Aku gak suka jilbabnya, gak modis!” aku merenggut di kamar sambil membiarkan jilbab merah muda tersungkur begitu saja di tempat tidurku. Ibuku membujuk untuk menerima pemberian kakakku itu, sementara kakakku sedang menonton tv di ruang tamu.

“Loh, ini kan warna kesukaanmu…” ujar ibu sambil membeberkan jilbab tebal dan besar berbodir bunga di tepiannya. Aku menggeleng bersikukuh menolaknya. Tidak lama kemudian, kepala kakakku nongol dari balik pintu. “Ya sudah, kalau gak suka ya gak usah dipake. Kenapa jadi ngambek?” ujarnya cuek.

“Aku kan minta dibeliin jilbab paris warna pink, kenapa malah yang begini?!” jawabku sewot.

“Ini bagus lho, harganya juga lebih mahal dari jilbab paris…” bela ibuku.

“Jilbab paris itu tipis, menerawang kalau dipake.” Tambah kakakku lagi, aku menutup telinga. Tahu apa kakak tentang gaya terupdate? Lihat saja bajunya yang gombrang-gambreng, penggunaan jilbabnya juga begitu-begitu saja, hanya berubah bros dan warna. Meskipun aku terinspirasi menggunakan jilbab dari kakak, tapi aku sudah bertekad tidak akan menggunakan jilbab kuno seperti kakak.

“Jilbab kalian itu transparan, jadi bisa keliatan. Katanya mau nutup aurat, tapi kok gak menyeluruh”.
Kata-kata Adi mengingatkanku pada pesan kakak kala itu yang tidak pernah kugubris. Air mataku meleleh, antara rasa malu dan menyesal. Sudah setahun aku berjilbab, ternyata sama saja seperti sebelumnya. Bahkan Adi menyamakan aku dengan gadis non muslim yang notabene tidak menggunakan jilbab.

“Kuno itu presepsi siapa sih, Nay? Cuma karena model pakaian kakak tidak sama dengan mode orang-orang barat sana, lantas kakak dikatakan kuno?” begitu tanya kakakku saat aku memprotes cara berpakaiannya.

Teman sekelasku, Airin yang penampilannya persis kakakku ketika kutanya tentang jilbab panjangnya yang menurutku sangat panas memiliki jawaban yang membuatku semakin mantap berjilbab. “Setahu saya, perintah menutup aurat yang ada di Al Qur’an itu ya begini, Nay. Orang puasa juga lapar, Nay. Tapi apa karena lapar maka kita boleh berbuka? Begitupun berjilbab, merasakan panas pasti, tapi apa itu bisa menjadikan alasan seseorang membuka jilbabnya?”

“Nayu nangis?” Tasya tiba-tiba mengejutkanku, aku segera mengucek mataku yang basah.

“Aku gak papa, Sya.” Jawabku mengelak. Padahal kami sama-sama mengerti, tidak ada yang tidak kenapa-napa setelah insiden tadi.

***

Aku marah. Kenapa harus Adi yang menegurku? Kenapa anak selengean yang tidak lebih baik dariku yang justru berkata seterus terang itu tentang jilbabku? Bukankah ia juga bukan anak alim macam Rahmat atau Airin yang tercatat sebagai anggota Rohis?! Lantas bukankah masih banyak teman-teman di sekolahku yang menggunakan jilbab serupa dengan kami, malah banyak pula yang belum menggunakan jilbab. Kenapa ia tidak urusi gadis-gadis yang belum teketuk hatinya itu untuk menggunakan jilbab?

Aku menutup wajahku dengan bantal. Ingin meledak rasanya membayangkan apa yang akan dikatakan teman-teman satu sekolah yang kemarin memergoki kami berempat beradu mulut di pinggir lapangan basket hari senin nanti.

“Hmm… jangan pernah berpikir kita lebih baik dari orang lain, Nay. Harusnya kamu berterima kasih sama temanmu itu karena telah diingatkan. Mungkin Adi hanya ingin teman seaqidahnya menjalankan agamanya dengan baik.” Ujar kakakku di seberang sana setelah aku menceritakan kejadian itu padanya. Kok malah belain orang lain! Batinku kesal.

“Kalau Airin atau Rahmat mungkin aku masih terima, Kak. Tapi ini Adi Kak, yang sholatnya aja mash bolong-bolong!” aku meracau sekenanya.

“Yakin kalau mereka yang ngingetin, kamu akan terima? Jangan-jangan kamu malah akan bilang ‘ngapain sih ngingetin aku, sok alim banget! Berasa ahli syurga aja’ hehe.” Kakakku terkekeh dibalik telepon.

“Kok kakak ngomongnya gitu sih?!”

“Iya maaf… pesan kakak satu aja deh sebelum kamu ngambek lagi dan nutup teleponnya sepihak. Jangan lihat siapa yang memberikan nasihat, tapi lihat apa isi nasihatnya. Okey?”

Aku terdiam. Benar, bagaimanapun sebenarnya kata-kata Adi itu benar. Hanya saja aku yang naïf tidak mau menerimanya karena merasa lebih baik darinya. Astaghfirullah…

Aku mengeluarkan jilbab paris berbagai warna dari dalam lemariku, memasukkannya ke dalam kardus lalu meletakkannya di depan pintu gudang belakang. “Loh, Nay itu mau dibawa kemana?” tanya ibuku melihat aku membawa kardus besar.

“Dibuang, dibakar juga boleh!” jawabku enteng. Ibuku mgeleng-geleng melihat kelakuanku, mungkin ingat saat aku merengek-rengek minta uang untuk beli jilbab-jilbab itu.

“Kenapa dibuang, Nay?” sebuah suara dari ruang tamu membuatku menoleh.

“Kak Nissa?” aku terkejut melihatnya tiba-tiba saja muncul dengan jilbab biru muda. Pantas saja backsound saat di telepon tadi berisik sekali, rupanya ia sedang dalam perjalanan pulang!

Mataku menyipit, sadar akan sesuatu. Bukankah yang dikenakan kak Nissa itu jilbab paris juga? Aku segera menyerbu ingin memegang jilbab yang dikenakannya untuk memastikan.

“Ada banyak cara untuk tampil ‘modis’ tapi tetap syar’i!” ujarnya seolah mengerti apa yang aku pikirkan. Aku mengangguk sambil kembali mengangkat dus berisi jilbabku ke dalam kamar.

“Eh, itu buat kak Nissa aja sini…” goda Kak Nissa yang membuatku semakin cepat melangkahkan kaki masuk ke kamar. Hanya butuh lapisan untuk membuatnya tidak transparan! Bisikku senang. Bukankah aku ingin masuk syurgaNya dengan sempurna, bukan setengah di syurga dan setengahnya lagi di neraka panas menyala, maka kenapa perkara wajib seperti ini masih kutawar-tawar? Tekadku bulat untuk menyempurnakan cara berjilbabku, aku ingin tampil keren di mata Allah, bukan keren di mata manusia.



diBawahLangit, 20 Juni 2011


http://annida-online.com/artikel-3456-mode-paris-.html

2 comments:

  1. bagus dek... smangat ya nulisnya... mari kita tuntaskan skripsi (galau) -____-"

    ReplyDelete
  2. makasih mbak'e,, 'skripsi' itu mahluk apa ya mba?hoho *amnesia mendadak :))

    ReplyDelete